Manuskrip Tuanku Imam Bonjol
Hingga kini, baru tiga naskah Indonesia—Babad Diponegoro, Negara Krtagama, La Galigo, dan Panji—yang mendapat pengakuan UNESCO sebagai ingatan kolektif dunia atau Memory of the World (MOW). Tentu saja, jumlah ini sangat sedikit jika didasarkan pada jumlah naskah Indonesia yang jumlahnya mencapai puluhan ribu. Puluhan ribu naskah tersebut tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia, baik yang tersimpan di lembaga resmi maupun yang masih tersebar di tengah masyarakat; baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Program MOW merupakan program UNESCO yang memiliki tiga tujuan utama; pertama, untuk memfasilitasi preservasi warisan budaya terdokumentasi menggunakan ketentuan yang paling sesuai, termasuk menyediakan bantuan langsung berupa saran atau tenaga ahli, hingga mencarikan sponsor untuk kegiatan preservasi. Kedua, untuk memfasilitasi akses yang universal terhadap warisan budaya terdokumentasi, termasuk mempermudah akses dengan bentuk digital dan katalog daring, maupun publikasi-publikasi yang berkaitan; tentu dengan menyesuaikan ketentuan hukum dan sensitivitas kebudayaan asal naskah. Ketiga, menciptakan kesadaran yang lebih besar akan eksistensi dan pentingnya warisan budaya terdokumentasi.
Beberapa negara seperti Mesir, Mali, Turki, Uzbekistan, dan Yaman telah merasakan dampak positif terhadap keberadaan program MOW UNESCO. Berbagai proyek pelestarian dan pengembangan naskah-naskah di negara ini terealisasi atas kerja sama dengan program MOW UNESCO. Salah satu agenda dicanangkannya the World Digital Library oleh UNESCO adalah ‘to provide resources for educators, scholars, and general audiences’, yakni menyediakan sumber penelitian bagi para akademisi, peneliti, dan khalayak umum.
Dalam konteks ini, salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki khazanah naskah yang penting adalah Sumatera. Pendaftaran naskah-naskah Sumatera terpilih ke MOW UNESCO—tentu saja juga pendaftarannya ke MON atau IKON—diharapkan akan membuka akses seluas-luasnya bagi para akademisi, peneliti, peminat, pemerhati, dan masyarakat secara umum, baik di dalam maupun di luar negeri, terhadap berbagai koleksi naskah-naskah (asal) Sumatera. Sebagai peninggalan budaya tertulis, naskah-naskah di Indonesia umumnya dan Sumatera khususnya merupakan ‘harta karun’ yang belum banyak tergali.
Khazanah Naskah Sumatera
Dalam dunia pernaskahan, Sumatera merupakan salah satu wilayah Indonesia yang memiliki khazanah naskah yang kaya dan sekaligus penting. Selain sudah banyak yang menyeberang ke berbagai penjuru dunia, ribuan naskah Sumatera—dengan keragaman kandungan isi, seperti keagamaan, kesejarahan, kesusastraan, pengobatan tradisional, adat-istiadat, folklor dan rajah serta silsilah—masih bisa ditemukan di berbagai perpustakaan dan museum serta di tangan masyarakat sebagai milik pribadi.
Sayangnya, kondisi naskah-naskah Sumatera sudah banyak yang rusak atau mendekati kerusakan. Banyak faktor yang menyebabkan kerusakan itu terjadi, terutama faktor sikap pemilik naskah, umur naskah, cuaca dan bencana alam. Naskah-naskah yang kebanyakan ditulis pada sekitar abad XIV hingga awal abad XX itu beralas kertas, tanduk kerbau, bambu dan kulit kayu yang secara fisik sudah banyak yang lapuk termakan usia. Sementara pemiliknya sendiri umumnya hanya mengandalkan pengetahuan tradisional untuk merawatnya, sehingga sering kali naskah disimpan secara tidak layak; saling bertumpuk dengan benda lain, sehingga alas naskahnya menjadi lapuk dan sangat dikhawatirkan akan hilang pengetahuan yang tersimpan di dalamnya.
Kalaupun terawat, umumnya naskah-naskah tersebut dianggap sebagai benda keramat yang harus disimpan rapi, sedangkan isinya tidak pernah diketahui dan dimanfaatkan oleh khalayak luas. Kendati telah beberapa kali dilakukan upaya inventarisasi dan pelestarian atas naskah-naskah tersebut, nyatanya hingga kini setidaknya berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dan pengalaman kunjungan ke beberapa daerah, naskah-naskah yang terdapat di masyarakat tersebut masih banyak yang belum teridentifikasi, dan apalagi tersusun dalam sebuah katalogus naskah.
Selain itu, sampai saat ini penelitian naskah di Indonesia lebih mementingkan telaah teks. Persoalan yang berkaitan dengan penyimpanan dan pemeliharaan manuskrip diabaikan. Padahal, sumber manuskrip hanya dapat diacu apabila sumber itu telah dilestarikan. Dengan kata lain, penelitian terhadap manuskrip baru dapat dilakukan apabila kondisi manuskrip baik fisik maupun tulisan tidak mengalami kerusakan. Bagaimanapun juga naskah merupakan kekayaan budaya bangsa yang sangat penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan.
Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya praktik jual beli naskah yang dilakukan oleh pewaris naskah dengan beberapa oknum dari luar negeri. Mereka menawarnya hingga jutaan rupiah untuk setiap naskah. Ahli waris naskah yang taraf ekonominya kurang menguntungkan itu pun banyak yang tergiur. Naskah-naskah Sumatera menjadi daya tarik tersendiri bagi beberapa oknum luar negeri.
Sekadar menyebut beberapa naskah Sumatera yang berpotensi sebagai MON dan MOW, seperti naskah Undang-Undang Tanjung Tanah (Kerinci, Jambi) yang dianggap sebagai naskah Melayu tertua; Tuanku Imam Bonjol (Pasaman, Sumatera Barat); naskah-naskah karya Raja Ali Haji (Kepulauan Riau); Hikayat Aceh dan naskah-naskah karya intelektual Aceh masa lampau. Ditambah lagi naskah-naskah Ulu di Bengkulu dan Palembang, naskah-naskah pustaha sebagai warisan budaya tertulis kebudayaan Batak di Sumatera Utara, hingga kini masih sangat minim informasi tentang keberadaan dan kepentingan naskah-naskahnya.
Pendataan dan penyusunan pangkalan data naskah-naskah Sumatera merupakan hal yang mendesak untuk segera dilakukan. Minimnya data berkenaan dengan keberadaan, kondisi fisik, kandungan isi, bibliografi dan kedudukan naskah sebagai rekaman narasi kebangsaan bagi pendukung kebudayaan merupakan masalah utama terhadap pelestarian dan pengembangan naskah-naskah di Sumatera. Dampak negatif dari ketidaktersediaan pangkalan data ini adalah tidak maksimalnya pengembangan naskah sebagai warisan budaya untuk memperkuat identitas dan karakter bangsa.
Dalam upaya peningkatan apresiasi, preservasi, pengembangan, dan perlindungan hukum terhadap naskah-naskah tersebut, maka pendaftaran naskah-naskah Sumatera yang adiluhung ke MON dan MOW merupakan langkah yang strategis untuk dilakukan. Melalui program MON dan MOW diharapkan akan mempertinggi perhatian khalayak luas—utamanya pemerintah daerah dan perguruan tinggi—terhadap pelestarian dan penyelamatan naskah. Minimnya perhatian terhadap pelestarian dan penyelamatan naskah menyebabkan naskah-naskah di Sumatera terus berkurang jumlahnya; baik karena rusak maupun praktik perdagangan naskah.
Naskah Tuanku Imam Bonjol
Salah satu naskah asal Sumatera yang berpotensi sebagai MON dan dinominasikan sebagai MOW UNESCO adalah naskah Tuanku Imam Bonjol. Naskah ini merupakan sumber utama tentang Perang Padri yang ditulis oleh orang pribumi. Naskah yang ditulis oleh Tuanku Imam Bonjol dan putranya yang bernama Naali Sutan Caniago terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama (halaman 1-190) merupakan memoar Tuanku Imam Bonjol; bagian kedua (halaman 191-324) adalah memoar putranya; dan, bagian ketiga (halaman 325–332) berisi notulen dua rapat yang diadakan di dataran tinggi Minangkabau pada 1865 dan 1875.
Manuskrip asli Tuanku Imam Bonjol pernah hilang selama dua puluh tiga tahun, sejak yang terakhir dipamerkan di festival Istiqlal pertama di Jakarta padatahun 1991. Naskah tersebut telah ditransliterasikan oleh Safnir Abu Naim pada tahun 1984, dan kemudian diterbitkan oleh PPIM pada tahun 2004. Sejumlah literatur tentang Imam Bonjol, salah satu pahlawan Indonesia sebenarnya berdasarkan manuskrip ini. Begitulah keberadaan manuskrip asli menjadi perhatian kritis beberapa ilmuwan. Alasan dibalik kekhawatiran ini adalah bagaimana kita bisa mendasarkan literatur tentang Imam Bonjol tanpa sumber terpercaya dari manuskrip aslinya.
Naskah itu sendiri telah dipindahkan dari satu tangan ke tangan yang lain, terbukti dari banyaknya marginalia dalam teks. Tanggapan aktif dari pembaca ini menunjukkan bahwa manuskrip itu digunakan oleh beberapa orang untuk kepentingan ilmiah mereka, dan memosisikan manuskrip itu sebagai sumber penting. Bagi masyarakat Sumatera Barat atau Minangkabau, Imam Bonjol diklaim sebagai pemimpin gerakan reformis dan juga pemimpin masyarakat dalam mempertahankan tanah mereka dari penjajah. Perannya di Sumatera Barat diajarkan di sekolah sehingga setiap warga di daerah dan juga di Indonesia mengenalnya sebagai pahlawan.
Untuk popularitas Imam Bonjol, gambarnya digunakan dalam mata uang Rp 5000 di Indonesia. Potretnya bersama dengan ilustrasi pahlawan Indonesia lainnya, biasanya dimuat di halaman belakang kebanyakan buku peta Indonesia. Walaupun demikian, sejarah Imam Bonjol telah dibantah oleh beberapa kritikus. Wisran Hadi dalam drama dan penampilannya yang berjudul Imam Bonjol mengulas ciri-ciri Imam Bonjol. Dia menempatkan Imam Bonjol dari pandangannya sebagai manusia biasa yang telah dilematis dan meragukan tingkah laku dan keputusannya dalam situasi kritis. Drama Wisran Hadi ini mendapat tanggapan negatif dari banyak kalangan, terutama dari pimpinan pemerintahan dan masyarakat Minangkabau saat pertunjukannya di Jakarta.
Selama masa hilang, tidak ada yang tahu tentang posisi manuskrip Tuanku Imam Bonjol tersebut. Ada beberapa upaya untuk menemukan manuskrip itu untuk tujuan penelitian ilmiah. Akan tetapi, orang terakhir yang bertanggung jawab atas manuskrip tersebut tidak menginformasikan tempat manuskrip tersebut. Naskah tersebut akhirnya ditemukan di Kantor Gubernur Sumatera Barat pada September 2014.
Sekarang, naskah Tuanku Imam Bonjol disimpan oleh Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat. Pada saat pertama diserahkan ke dinas ini, naskah dalam kondisi rusak, beberapa lembar lepas dari jilidan dan beberapa halaman naskah berlubang karena “terbakar” oleh tinta (lihat Gambar 1). Selanjutnya, pihak Dinas Kearsipan dan Perpustakaan melakukan perawatan dan perbaikan naskah tersebut. Namun demikian, naskah-naskah peninggalan Tuanku Imam Bonjol lainnya yang masih disimpan oleh ahli warisnya.
(Pramono. 2017. “Dari Sumatera Barat untuk Indonesia dan Dunia: Naskah Tuanku Imam Bonjol sebagai MON dan MOW”. Seminar Internasional Pernaskahan Nusantara (Semipernas). 25-26 September di Universitas Sebelas Maret, Solo.)
0 Comments