Manuskrip Azimat
Dalam disertasinya yang berjudul “Azimat Minangkabau: Kritik Teks dan Edisi Kritis”, Zuriati (2013) menghitung ada 30-an naskah azimat Minangkabau, baik naskah yang tersimpan di Sumatra Barat maupun di luar Sumatra Barat. Saya yakin bahwa jumlah ini tidak termasuk naskah-naskah Minangkabau yang hanya sebagian mengandung teks azimat; atau naskah yang di dalamnya “disisipkan” salinan azimat. Sekiranya dihitung juga naskah-naskah jenis ini, maka untuk menyebut naskah azimat Minangkabau tentulah jumlahnya mencapai seratusan.
Disertasi tersebut secara khusus meneliti 13 naskah azimat Minangkabau—dalam bentuk naskah bergulung—dan menentukan satu darinya untuk dijadikan dasar edisi teks. Zuriati menyimpulkan bahwa dari 13 naskah paga tersebut diperkirakan disalin dalam masa antara Perang Padri, yakni antara 1803 dan 1837. Sebelas naskah di antaranya merupakan azimat “kebal senjata” yang digunakan untuk berperang.
Seorang sarjana Belanda, Ph. S. van Ronkel (1916) pernah melaporkan bahwa pada abad ke-20 pemakaian azimat masih tetap ramai di Minangkabau. Dalam laporannya tersebut, Ronkel juga menuliskan ada 15 macam jenis azimat yang dikenal dalam masyarakat Minangkabau pada masa itu. Di antaranya adalah azimat sicucur yang digunakan untuk “pengasihan”, azimat pelaris untuk berniaga, dan azimat untuk mengusir syetan atau penangkal bahaya.
Berkenaan dengan fenomena tersebut, dalam beberapa sumber juga disebutkan bahwa azimat juga (pernah) digunakan untuk peperangan melawan penjajah. Dalam disertasi M. Sanusi Latief (1988), misalnya, menyebutkan bahwa azimat juga banyak dipakai sebagai “penangkal peluru musuh” pada masa perang kemerdekaan. Dalam konteks ini, HAMKA (1982) menulis, “Telah sampai berita ke Danau bahwa di Kamang telah terjadi pemberontakan, dan telah dapat dipadamkan oleh Belanda dengan segala kekerasan, maka pada mayat-mayat para pejuang itu banyak terdapat azimat.”
Fenomena penggunaan azimat, ternyata, tidak hanya ramai di kalangan ulama tradisional Minangkabau. Jika dibaca buku Naskah Catatan Haji Rasul, Dinamika Intelektual Kaum Muda Minangkabau Awal Abad XX yang ditulis oleh Apria Putra (2014), maka kita mendapat informasi bahwa HAKA alias Inyiak Rasul juga memahami cara membuat azimat. Di dalam naskah “Catatan Haji Rasul”—yang disunting oleh Apria Putra—terdapat keterangan tentang tatacara menulis azimat, terutama azimat untuk pengobatan. Di antara azimat-azimat pengobatan yang ditulis HAKA seperti azimat untuk kanak-kanak jangan terkejut, azimat agar tanaman tidak diserang hama dan penyakit dan untuk kekuatan laki-laki.
Teks azimat yang terdapat dalam naskah-naskah Minangkabau dapat dijadikan kajian yang menarik. Peluangnya sangat terbuka lebar, karena naskah-naskah yang mengandung teks azimat, terutama azimat untuk pengobatan, jumlahnya cukup banyak. Selain teks azimat pengobatan, dalam khazanah naskah-naskah Minangkabau juga banyak ditemui azimat-azimat yang digunakan untuk hewan peliharaan dan tanaman pangan. Azimat-azimat jenis ini digunakan agar hewan ternak sehat dan tanaman subur serta jauh dari penyakit. Naskah-naskah azimat Minangkabau jenis ini tersebar di berbagai surau tarekat di Sumatra Barat. Biasanya, teks azimat ini tergabung dengan teks-teks lain, seperti teks tasawuf, sejarah, sastra dan lain-lain.
Penting kemudian dikatakan bahwa disertasi Zuriati tentunya dapat menginspirasi untuk kajian-kajian teks azimat yang terdapat di dalam naskah-naskah Minangkabau yang lain. “Keberadaan naskah azimat Minangkabau,” kata Zuriati, “menjadi salah satu bukti sejarah bahwa azimat pernah mengisi kehidupan masyarakat Minangkabau pada masa lampau. Bahkan, keberadaanya dalam berbagai bentuk dan berbagai tujuan serta kepentingan masih ada dalam sebagian kecil masyarakat Minangkabau masa kini.”
(Pramono. 2018. Khazanah Naskah Minangkabau. Padang: Erka.)
*Artikel merupakan bagian dari sub bab buku Khazanah Naskah Minangkabau (2018) karangan Pramono dengan judul “Teks Azimat” dalam bab “Tiga: Pelbagai Kandungan Isi Naskah”.
0 Comments