Tradisi Turun Baban di Kabupaten Sijunjung

Published by admin on

Davinna Tiara, Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia Universitas Andalas

Upacara kematian dalam adat Minangkabau bukan sekadar seremonial biasa; ia merupakan wujud penghormatan terakhir yang diberikan kepada seseorang yang telah meninggal. Lebih dari tradisi, rangkaian ini menyatukan elemen budaya dan kewajiban agama, terutama bagi umat Islam. Setiap tahapan dalam prosesi ini mengekspresikan rasa hormat dan tanggung jawab keluarga serta masyarakat kepada almarhum. Biasanya, proses tersebut mencakup memandikan jenazah, menggelar salat jenazah, mengantarkan ke tempat peristirahatan terakhir, takziah (melayat), dan dilanjutkan dengan berbagai peringatan kematian di hari-hari tertentu.

Di Minangkabau, peringatan ini diadakan pada beberapa momen penting setelah kematian, seperti pada hari ketiga (manigo hari), hari ketujuh (manujuh hari), hari kedua puluh satu (manduo satu hari), hingga hari keempat puluh (ma ampek puluh hari). Setiap tahapannya diisi dengan doa-doa dan zikir untuk mendoakan almarhum agar diterima di sisi-Nya. Salah satu momen yang menjadi penutup dari rangkaian ini adalah Tradisi Turun Baban, yang biasanya diadakan pada hari ke-100 setelah kematian.

Tradisi Turun Baban menandai akhir dari seluruh proses doa dan penghormatan kepada almarhum. Meskipun acaranya mirip dengan rangkaian doa lainnya—terdiri dari zikir, pembacaan yasin, ceramah, serta doa—Turun Baban diadakan lebih formal dan melibatkan lebih banyak orang. Keluarga almarhum biasanya meminta bantuan kepada surau setempat untuk mengirimkan santri, ustaz, atau Tuangku (pemuka agama) sebagai pemimpin doa. Menariknya, santri atau Tuangku yang ditunjuk harus memimpin seluruh rangkaian doa hingga selesai, selama 100 hari tanpa digantikan, sehingga keberlangsungan doa tetap terjaga.

Setelah seratus hari, keluarga almarhum secara simbolis “mengembalikan” santri atau Tuangku ke surau. Proses ini disebut sebagai Turun Baban, yang secara harfiah bermakna “melepas beban”. Keluarga almarhum membawa berbagai perlengkapan sebagai tanda terima kasih dan penghargaan. Perlengkapan yang disediakan meliputi pakaian seperti baju, sarung, kopiah, sandal, serta perlengkapan mandi. Selain itu, keluarga juga memberikan makanan, baik yang siap saji seperti nasi, lauk-pauk, kue, dan buah-buahan, maupun bahan mentah seperti beras, minyak goreng, dan ikan kering. Bahkan, perlengkapan tidur seperti kasur, bantal, dan selimut juga disertakan.

Besarnya kelengkapan yang diberikan ditentukan oleh status pemimpin doa. Jika yang memimpin adalah seorang santri, kelengkapannya mungkin lebih sederhana dibandingkan jika yang memimpin adalah seorang Tuangku. Hal ini mencerminkan penghormatan sesuai dengan peran yang diambil dalam memimpin doa dan ibadah selama 100 hari.

Ada hal menarik lainnya dalam tradisi ini, yakni adanya “balasan” dari pihak surau. Beberapa kelengkapan yang diberikan tidak sepenuhnya diterima. Misalnya, kue atau pisang hanya diambil sebagian, sementara sisanya dikembalikan kepada keluarga. Ini mencerminkan bentuk saling menghargai dan menjaga hubungan baik antara keluarga almarhum dan pihak surau. Tradisi ini dikenal dengan istilah “bia ndak abih baso,” yang berarti hubungan tetap terjaga dengan penuh rasa hormat.

Keseluruhan tradisi Turun Baban mencerminkan nilai-nilai luhur yang ada dalam masyarakat Minangkabau, terutama dalam hal penghormatan, gotong-royong, dan menjaga hubungan sosial. Tradisi ini bukan hanya sekadar upacara penutup untuk mendoakan yang telah tiada, tetapi juga pengingat betapa pentingnya menjaga hubungan baik dan kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui tradisi ini, warisan budaya Minangkabau yang kaya terus hidup dan berkembang di tengah masyarakat.

Tradisi Turun Baban di Minangkabau, selain sebagai simbol penghormatan terakhir bagi almarhum, juga merupakan cerminan kuat dari esensi kebersamaan yang diwariskan lintas generasi. Lebih dari sekadar ritual, ia mengingatkan kita bahwa hubungan sosial yang baik dan rasa tanggung jawab tidak hanya berlangsung di dunia, tetapi juga berlanjut dalam doa dan harapan di kehidupan setelahnya. Dengan setiap doa yang dipanjatkan, dan setiap kelengkapan yang dipersembahkan, tradisi ini mengajarkan bahwa warisan terpenting dari seseorang adalah keberlanjutan kebaikan yang mereka tinggalkan, baik di hati sanak keluarga maupun dalam jalinan erat masyarakat yang saling mendukung.

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *