Surau Batu di Kalumbuk: Tersimpan Kenangan Perjuangan
Endah Regita Cahyani Nazra, Guru SMAN 12 Padang
Surau Batu, yang kini dikenal sebagai Mushalla Muthmainnah, terletak di jalan raya Kalumbuk, mungkin terasa asing bagi sebagian orang. Namun, di balik kesederhanaannya, mushalla ini memiliki cerita yang mendalam. Sebagai sebuah rumah ibadah, mushalla ini pada pandangan pertama mungkin terlihat seperti tempat ibadah biasa, terutama jika hanya dilihat dari sisi luar atau lewat di jalan. Dengan dinding yang diwarnai cat hijau yang meneduhkan dan kubah berwarna coklat tua yang mempesona, bangunan mushalla ini memancarkan kedamaian meskipun pembangunannya belum sepenuhnya selesai. Mushalla ini menjadi tempat bagi masyarakat setempat, terutama para siswa tingkat SD yang setia datang untuk belajar mengaji atau memperdalam pemahaman agama setiap sore hari. Di dalamnya, nuansa spiritual terasa kuat, terutama saat adzan berkumandang dan jamaah berkumpul untuk melaksanakan sholat berjamaah, mengingatkan pada nilai-nilai kebersamaan dan ketaatan kepada agama yang menjadi inti kehidupan masyarakat Kalumbuk.
Aktivitas Surau Batu—masyarakat menyebutnya demikian—di kala sore hari akan diramaikan oleh para siswa tingkat SD untuk menjalankan rutinitas harian mereka yaitu mengaji atau belajar membaca Al-Qur’an. Selain itu, mereka juga aktif belajar agama dengan antusias, mengikuti kegiatan rutin sholat berjamaah yang selalu dikumandangkan dalam suasana yang khusyuk. Para siswa juga berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan seperti kajian agama di hari-hari tertentu, seperti pelaksanaan wirid, yang menjadi momen berharga untuk mendalami nilai-nilai spiritual dan ketaatan kepada agama.
Bagi orang yang tidak tahu mengenai kisahnya, mushalla ini hanyalah mushalla tempat beribadah. Selain itu tidak ada lagi tampak keistimewaan mushalla ini. Sederhana memang, sederhana untuk kelihatan dari luar saja. Namun, dibalik kesederhanaan mushalla ini, rupanya rumah ibadah yang satu ini menyimpan kenangan yang mendalam. Mushalla ini menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang para pemuda dalam memperjuangkan kampung mereka dari serbuan tentara Belanda, mengabadikan semangat dan pengorbanan mereka dalam setiap ukiran kayu dan nisan yang terpampang dengan megah di dalamnya.
Kenangan perjuangan para pemuda itu diwujudkan dalam sebuah tugu yang berdiri kokoh di halaman mushalla. Tugu perjuangan tersebut terbuat dari batu yang dibentuk menyerupai 3 batang bambu runcing, melambangkan kekuatan dan ketangguhan para pejuang dalam melindungi tanah air mereka. Disekeliling tugu tersebut tertulis dengan megah setiap kelompok pemuda yang berperan serta dalam peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di sekitar Kalumbuk hingga Kuranji. Tiap nama yang terukir menjadi saksi bisu dari semangat persatuan dan perjuangan yang menguatkan komunitas lokal, menjadikan tugu ini sebagai simbol keabadian nilai-nilai kepahlawanan dan semangat patriotisme yang tak pernah pudar.
Tugu bambu tersebut mengingatkan akan perjuangan tokoh yang amat disegani di Kalumbuk dan bahkan Kuranji, yaitu Djamaluddin Wak Ketok. Djamaluddin Wak Ketok bukan hanya dihormati sebagai pemimpin yang bijaksana, tetapi juga sebagai tokoh yang penuh dedikasi dalam memimpin Dewan Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (DPKRI) atau Dewan Perjuangan Rakyat Padang (DPRP) di Surau Batu. Surau ini bukan sekadar tempat ibadah, melainkan menjadi markas utama di mana strategi-strategi penting untuk menggalang perlawanan terhadap penjajah Belanda disusun dan dilaksanakan. Di sekitar Surau Batu, cerita keberanian dan kegigihan Djamaluddin Wak Ketok serta para pejuang lainnya dalam mempertahankan kemerdekaan melekat erat, menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya untuk menghargai dan meneruskan semangat perjuangan mereka.
Pada dinding tugu tersebut, kini terpampang dengan jelas guratan tulisan-tulisan dan ukiran-ukiran sejarah perjuangan. Setiap kelompok pemuda yang tertulis di sana menjadi bukti nyata dari keragaman dan kesatuan dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Mulai dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang merupakan tulang punggung dari pasukan perlawanan, hingga Hizbullah (Tentara Allah) yang memperkuat barisan dengan semangat keagamaan, serta Temi, Laskar Muslimin, Majelis Tinggi Kerapatan Adat Minangkabau (MTKAM), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Barisan Istimewa (BI), Keputrian Republik Indonesia (KRI), dan Sabil Muslimat. Masing-masing kelompok ini tidak hanya berperan dalam mempertahankan tanah air dari penjajah Belanda, tetapi juga menunjukkan komitmen mereka terhadap nilai-nilai persatuan, keadilan, dan keberagaman, yang menjadi warisan berharga bagi generasi-generasi selanjutnya di Kalumbuk dan Kuranji.
Jika berjalan lagi mengitari tugu tersebut, akan terlihat lebih banyak tulisan yang mengukir sejarah perjuangan yang menginspirasi. Tertulis dengan jelas DPRP (Dewan Perjuangan Rakyat Padang), yang mencerminkan koordinasi dan kepemimpinan yang teratur dalam menghadapi penjajah Belanda. Pembagian tugas, strategi peperangan yang digunakan, dan detail tentang persenjataan yang dipergunakan menjadi bukti nyata dari keseriusan dan kesiapan para pejuang. Di sampingnya, terdapat pantun perjuangan DPRP yang menggambarkan ketangguhan dan semangat tanpa kenal lelah dalam melindungi tanah air: “di atas pisang di bawah jantung, ditengah-tengah pohon kelapa. Biar ditembak atau digantung, asal Indonesia tetap merdeka.” Tugu ini juga memperingati peristiwa bersejarah, seperti Penyerangan Rimbo Kaluang pada 21 Februari 1946 oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang menegaskan keberanian dan tekad untuk menentang segala bentuk penindasan demi mencapai kemerdekaan yang dicita-citakan.
Teranglah bahwa tugu ini menyimpan perjuangan heroik para pemuda yang gigih mempertahankan wilayah ini dari Belanda serta berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Namun, disayangkan bahwa tugu bambu ini hanya terpampang diam di halaman Surau Batu tanpa mendapatkan pengakuan dan perhatian yang layak hingga saat ini. Meskipun tugu ini dengan jelas menjadi saksi bisu dari semangat dan pengorbanan para pejuang, pengetahuan akan nilai sejarahnya terbatas pada generasi tua saat ini dan tidak tersebar luas di kalangan generasi muda. Bagi sebagian besar masyarakat, kunjungan mereka ke surau ini hanya terbatas pada aktifitas ibadah semata, tanpa sepenuhnya memahami makna dan signifikansi sejarah yang tersimpan di dalamnya.
Jika beralih ke seberang jalan dari surau tersebut, akan terlihat sebuah rumah yang juga menjadi saksi bisu sejarah dalam perjuangan para pemuda. Rumah tersebut adalah kediaman Djamaluddin Wak Ketok, sebuah tempat yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal pribadi tetapi juga menjadi markas informal bagi koordinasi dan strategi para pemuda. Djamaluddin Wak Ketok, yang sering kali memimpin pertemuan dan diskusi di Surau Batu atau di rumahnya sendiri, telah menjadi figur yang sangat dihormati dan disegani. Sebagai pemimpin yang mampu menyatukan berbagai gerakan pemuda yang tercatat dalam tugu bambu, reputasinya melegenda sejak masa bergabungnya dalam Batalyon Harimau Kuranji yang dipimpin oleh Ahmad Husein. Keberadaan rumah ini tidak hanya sebagai tempat berlindung dan berdiskusi, tetapi juga sebagai simbol kekuatan persatuan dan semangat perjuangan yang terus dijunjung tinggi oleh masyarakat Kalumbuk dan Kuranji.
0 Comments