Pernikahan dalam Dua Warna: Tradisi Minang dan Jepang Bersatu

Published by admin on

Muhammad Miftahul Fikri, Mahasiswa Prodi Antropologi Universitas Andalas

Pernikahan beda budaya semakin sering terjadi di era globalisasi. Tradisi dan adat kini mulai terbuka dan berbaur dengan budaya lain. Salah satu contoh menarik adalah kisah Uci Tria Wulandari, perempuan asal Solok, Sumatera Barat, yang menikah dengan Takeki Kai, pria Jepang. Uci lahir pada tahun 1993 dan merupakan alumni Sastra Jepang Universitas Andalas. Mereka bertemu pada tahun 2015 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas saat Kai melakukan pertukaran pelajar. Setelah beberapa tahun menjalin hubungan, mereka menikah pada tahun 2019.

Sebelum menikah, Kai memutuskan memeluk agama Islam tanpa paksaan. Dia telah mempelajari Islam jauh sebelumnya dan yakin menjadi seorang Muslim. “Bahkan Kai lebih taat beragama dari saya,” ujar Uci. Mereka juga menjalankan ibadah umrah bersama pada akhir tahun 2023. Pernikahan mereka dilangsungkan dengan tradisi adat Minang, termasuk upacara baralek dan penggunaan suntiang. Mereka juga mengadakan pernikahan dengan tradisi Jepang di Jepang. Uci dan Kai menikmati setiap momen pernikahan dua budaya ini.

Kai tertarik dengan budaya dan adat Minang. Salah satu yang ia rasakan adalah makanan Minang yang kaya rempah dan pedas, sangat berbeda dengan masakan Jepang. Kai bahkan belajar makan dengan tangan, sesuatu yang tidak biasa bagi orang Jepang. Uci pun tertarik dan belajar tentang budaya Jepang. Banyak nilai dalam budaya Jepang mirip dengan ajaran Islam, seperti kedisiplinan, kebersihan, ketepatan waktu, dan mengutamakan kepentingan orang lain.

Perbedaan budaya kadang membuat mereka canggung. Misalnya, mencium tangan kepada orang yang lebih tua sangat umum di Indonesia tetapi tidak di Jepang. Uci merasa segan jika tidak mencium tangan mertua, sementara di Jepang cukup dengan membungkuk. “Kai pun mengalami hal yang sama. Saat bertemu orang tua saya, dia akan mencium tangan mereka meskipun awalnya merasa aneh,” jelas Uci.

Setelah lima tahun menikah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Hiroki Kai yang lahir pada tahun 2021. Dalam hal bahasa, Uci mengajarkan Hiro bahasa Jepang sekitar 80% dari waktu, sisanya bahasa Indonesia dan Minang. Hiro lebih terbiasa berbicara dalam bahasa Jepang tetapi juga memahami bahasa Minang dan Indonesia.

Dalam hal adab dan budaya, Uci menerapkan nilai-nilai Minang dan Jepang kepada Hiro secara bersamaan. Mereka tinggal di Tokyo, Jepang, sehingga Hiro lebih sering terpapar budaya Jepang. Namun, Uci memastikan masakan Minang selalu tersedia di meja makan agar Hiro mengenal dan menyukai makanan khas Minang seperti gulai dan rendang.

Uci sering rindu kampung halamannya di Sumatera Barat. Ia menyukai tarian dan nyanyian Minang. Di Tokyo, setiap ada acara Minang yang diadakan oleh KBRI atau komunitas Minang, Uci berusaha hadir dan berpartisipasi. Salah satu penampilannya yang terkenal adalah saat menarikan tari piring di pernikahan pesepak bola Pratama Arhan dengan Azizah Salsha. Uci menari bersama rekannya Turangga Bayu, sesama alumni Sastra Jepang Universitas Andalas yang juga menetap di Jepang. Penampilan mereka mendapat banyak pujian dan dukungan, termasuk dari Kai dan Hiro yang hadir. Kai bahkan mengenal Pratama Arhan dan memiliki poster pesepak bola tersebut di rumah mereka.

Acara-acara Minang di Tokyo yang diadakan oleh KBRI tidak hanya dihadiri orang Minang atau Indonesia, tetapi juga banyak orang Jepang yang tertarik dengan kebudayaan Minang. Uci menyatakan bahwa orang Jepang selalu kagum dengan keindahan tarian Minang, terutama tari piring. Mereka takjub melihat penari menginjak piring tanpa melukai kaki. Selain itu, orang Jepang juga antusias mengenal kebudayaan Minang lebih dalam. Meski memiliki latar belakang budaya berbeda, Uci merasa beruntung karena Kai selalu memberikan dukungan penuh terhadap apa pun yang ia lakukan. “Kai mendukung apa pun yang saya lakukan asalkan positif dan membuat saya senang,” kata Uci. Kai memahami bahwa Uci tidak akan bisa melepaskan diri dari kebudayaan nenek moyangnya.

Untuk melestarikan kebudayaan Minang di Jepang, Uci berkomitmen terus tampil dalam berbagai acara untuk memperkenalkan kebudayaan Minang kepada masyarakat Jepang. Ia dan teman-teman sesama perantau Minang juga aktif melakukan perkumpulan untuk menikmati masakan Minang bersama. Kadang, Uci mengajak teman-teman yang bukan orang Minang atau orang Jepang untuk ikut menikmati masakan Minang yang terkenal dengan kelezatannya.

Di masa depan, Uci dan Kai berencana kembali ke Indonesia setelah pensiun. “Seberapa jauh kami merantau, tetap Minangkabau tempat kami berpulang,” ujar Uci. Mereka telah menyiapkan rumah untuk masa pensiun di Sumatera Barat dan saat ini fokus bekerja serta membesarkan anak sesuai prinsip “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah,” yang berarti adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Kitabullah. Kisah Uci dan Kai adalah contoh nyata bagaimana pernikahan beda budaya dapat berjalan harmonis dan saling melengkapi. Meskipun ada tantangan dan perbedaan, dengan saling pengertian, toleransi, dan cinta, perbedaan tersebut justru bisa menjadi kekuatan yang memperkaya kehidupan mereka.

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *