Perempuan Penggerak dari Ranah Minang: Rohana Koeddoes dan Soenting Melajoe
Lastry Monika, Alumnus Magister Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Sebagian peneliti kebudayaan Minangkabau memperoleh kesimpulan bahwa adat matrilineal mengalami kekalahan dalam pertempuran atau sengketa antara adat, Islam, dan penjajahan kolonial. Namun, Abdullah dalam tulisannya terkait Kaum Muda dan gerakannya di Sumatera Barat justru menyimpulkan sebaliknya. Menurutnya, sengketa yang seolah tiada putus tersebut menghadirkan paradigma baru. Pertempuran di antara adat, Islam, dan pandangan kolonial Barat telah membentuk ketahanan budaya. Begitulah realitas yang terjadi, matrilineal di Minangkabau hingga saat ini tetap bertahan meski dihadapkan pada gempuran adat-Islam, kolonialisme, dan modernitas.
Meski demikian, perspektif perempuan dan pembicaraan terkait posisi perempuan dalam bahasan yang sama sering tidak tampak. Kecenderungan analisis hanya memiliki fokus pada politik laki-laki. Akibatnya, kekuasaan dan identitas perempuan Minangkabau terkesan dikesampingkan. Padahal, bila merunut agensi perempuan terkait sejarah di Minangkabau, beberapa tokoh perempuan dalam adat matrilineal ini berposisi sebagai penggerak dan pendobrak di berbagai aspek seperti pendidikan dan penulisan terkait isu keperempuanan.
Perempuan Penggerak dari Ranah Minang
“Samuik tapijak indak mati, alua tatarauang patah tigo”, begitulah bunyi pepatah dalam menyatakan perempuan Minangkabau. Kelembutan dan ketangkasan menyertai setiap langkahnya. Tentu saja adagium itu pula yang hendaknya selalu dibawa setiap perempuan Minangkabau masa kini di mana pun ia berada. Pepatah yang telah dikenal sejak lama tersebut, pun terus digaungkan bukan tanpa alasan. Kenyataan yang tidak dapat dielakkan adalah, jauh di masa lampau Minangkabau memiliki tokoh-tokoh perempuan yang mengagumkan. Pergerakan yang mereka lakukan memberi dampak yang begitu terasa manfaatnya di masa sekarang. Gerakan yang dilakukan pun tak terbatas di satu aspek.
Berbagai macam pemikiran dan pergerakan dicetuskan oleh tokoh-tokoh perempuan dari Minangkabau. Di antaranya, perlawan terhadap penjajahan, pergerakan pendidikan, pelopor kebebasan dalam menyampaikan pemikiran, hingga penggagas gerakan literasi. Beberapa nama yang populer tokoh-tokoh tersebut ialah Siti Manggopoh, Roehana Koeddoes, Rahmah El Yunusiah, dan Rasuna Said. Siti Manggopoh di Lubuk Basung, Agam, bahkan dikenal melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda sambil menggendong si buah hati yang masih balita.
Lain lagi dengan Rahmah El Yunusiah, seorang pejuang kemerdekaan dan pelopor pendidikan islam di Sumatera Barat. Ia mendirikan sekolah Diniyah Putri di Padang Panjang. Selain itu, ada pula tokoh perempuan yang bergerak dalam bidang literasi dengan mendirikan surat kabar, yaitu Roehana Koeddoes. Ia bersama rekan perempuannya yang lain mengelola surat kabar yang dikenal dengan Soenting Melajoe. Surat kabar itu diedit dan disunting secara ekslusif oleh perempuan Minangkabau. Soeting Melajoe ini menjadi satu-satunya surat kabar yang dominan dikelola oleh perempuan. Surat kabar tersebut berisikan isu-isu terkait pendidikan perempuan, kesetaraan gender, perlindungan perempuan dari kekerasan, dan isu-isu lain terkait perempuan dan lingkungan sosial-politik di Minangkabau pada masa itu.
Surat kabar Soenting Melajoe juga terdepan dalam menyuarakan isu terkait Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Hal yang pada masa itu menjadi tabu untuk dikabarkan. Dalam pengelolaannya, surat kabar ini mendapat dukungan dari kelompok yang lazim disebut Kaum Tua. Golongan yang basis gerakannya meliputi kemajuan, modernitas, keadilan, dan kaitan semua hal itu dengan tradisi. Istilah Kaum Tua dan Kaum Muda begitu familiar pada masa itu merupakan bagian dari perkembangan islam di Minangkabau. Kehadiran surat kabar Soenting Melajoe ini menjadi penanda bahwa matrilineal di Minangkabau tidak tertinggal dalam pergerakan perempuannya, bahkan dengan tegas mampu menentukan posisinya di hadapan publik. Mereka para penulis di Soenting Melajoe menyebut diri mereka sebagai “saudara perempuan” (saoedarakoe perempoean).[1]
Pada umumnya, penulis perempuan di masa yang sama dengan Soenting Melajoe menyerukan “bangsa perempuan”. Namun, Soenting Melajoe justru menyerukannya untuk membangun komunitas multietnis. Oleh sebab itu, maka tidak mengherankan bahwa Soenting Melajoe memiliki kontributor penulis perempuan yang berasal dari berbagai daerah di Pulau Sumatera. Selain menyuarakan persoalan terkait kesejahteraan perempuan, para kontributor yang menulis di Soenting Melajoe juga menyerukan tentang melek huruf, keterampilan, kerajinan, informasi kesehatan, dan penolakan terhadap praktik opresif seperti poligami. Tidak jarang pula, tulisan-tulisan para penulis perempuan di Soenting Melajoe menimbulkan perdebatan dari berbagai pihak.
Topik yang Berujung Polemik
Pada bulan Juli tahun 1912 merupakan tahun yang diperkirakan lebih dari 90 % perempuan masih berada di taraf buta huruf.[2] Menariknya, Minangkabau di tahun tersebut memiliki sosok perempuan luar biasa yang justru mampu mengelola surat kabar. Perempuan itu salah satunya ialah Siti Roehana Koeddoes. Ia adalah pelopor emansipasi wanita pertama dari tanah Sumatera. Lebih menarik lagi ialah, bahwa Roehana Koeddoes rupanya tidak pernah menempuh pendidikan formal. Namun, ia justru dikenal sebagai tokoh emansipasi asal Minangkabau yang meliputi seorang pendidik, guru agama, guru sekolah kerajinan wanita, dan seorang wartawan wanita pertama di Indonesia.
Pada awal abad ke-20 yang masih dominan dijumpai wanita buta huruf tersebut, Roehana Koeddoes merintis sekolah kerajinan wanita bernama “Amai Setia”. Di sekolah ini para perempuan diajarkan membaca tulisan Arab dan Latin. Di tahun-tahun tersebut, Roehana Koeddoes telah berkecimpung dalam memperjuangkan kedudukan perempuan, terutama untuk memberantas buta huruf bagi sesama perempuan. Soenting Melajoe menjadi wadah bagi perempuan Minangkabau untuk menuangkan ide dan gagasan mereka yang kadang pula memicu perdebatan publik karena kekritisannya. Dominanya, ide dan gagasan tulisan yang dimuat dalam Soenting Melajoe menggaungkan pentingnya pendidikan dan kemajuan perempuan. Kemajuan tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi perempuan di Minangkabau, tetapi juga di tanah Melayu hingga mencakup keselurun Hindia Belanda di masa itu.
Roehana Koeddoes ialah pelopor jurnalis perempuan pertama di Indonesia. Ia lahir tahun 1884 di Koto Gadang. Semasa muda, Roehana Koeddoes tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal. Meskipun demikian, ia memiliki kemampuan yang baik dalam hal baca tulis yang diajarkan oleh ayahnya, Mohamad Rasjid Maharadja Soetan. Sebelum mendirikan Soenting Melajoe, Roehana telah gemar membaca surat kabar dan menulis. Tulisan-tulisan tersebut ia kirimkan ke berbagai surat kabar yang ada di Kota Padang. Roehana yang masih belia juga mampu membaca dan menulis dalam bahasa Belanda.
Roehana Koeddoes adalah perempuan yang memiliki hak istimewa di masa ketika banyak perempuan sebayanya yang tidak memiliki hak istimewa yang sama. Ayahnya adalah pegawai pemerintahan Hindia Belanda dan ia mendapat pendidikan informal dari ayahnya tersebut. Meski memiliki hak istimewa yang tidak dimiliki oleh setiap perempuan, Roehana justru merasa sangat terganggu menyaksikan kondisi perempuan lainnya yang ditempatkan pada posisi serba terbatas. Misalnya, tidak memiliki kebebasan untuk mengenyam ilmu pengetahuan. Roehana melihat bahwa kondisi tersebut menyebabkan perempuan jauh tertinggal oleh lelaki.
Tepatnya pada bulan Juli 1912 Rohana menerbitkan surat kabar Soenting Melajoe bersama Zubaidah Ratna Djuwita. Pada saat itu, Soenting Melajoe menjadi surat kabar pertama di Indonesia yang secara ekslusif dikelola oleh perempuan. Surat kabar perempuan yang berasal dari Minangkabau ini mengalami perkembangan yang signifikan meski terjadi kenaikan harga dalam peredarannya. Soenting Melajoe bahkan menjangkau wilayah di luar Minangkabau, bahkan di luar Hindia Belanda. Penulis perempuan yang menulis di majalah ini berasal dari berbagai daerah di Minangkabau hingga Palembang. Bahkan juga ada tulisan yang dikirim dari Johor dan Mesir.[3]
Tagline yang digaungkan oleh Soenting Melajoe adalah “bertoekoek bertambahlah ilmoe dan kepandaian perempoean”.[4] Tulisan-tulisan yang dimuat di Soenting Melajoe pada umumnya ditulis dalam bahasa Melayu yang tidak mematuhi kebakuan. Beberapa tulisan dari penulis perempuan tersebut juga terlihat mendapat pengaruh dari pemikiran Gayatri Spivak yang terkenal dengan pemikiran terkait sastra dan kritik feminisnya.[5] Salah satu tulisan yang memunculkan polemik dan perdebatan berasal dari penulis asal Padang Panjang bernama Zahara. Tulisannya mempertanyakan mengapa perempuan terus dipoligami dan dibebani pekerjaan domestik. Kala itu, kawasan Pantai Barat Sumatera menjadi daerah dengan tingkat poligami tertinggi di Hindia.
“Apakah Tuhan kita, yang begitu penuh kasih menghendaki hamba-hambanya untuk menyakiti sesama manusia?”[6] kira-kira begitulah bentuk kritik yang dilayangkan dalam tulisan Zahara terhadap maraknya praktik poligami. Bagi perempuan yang memiliki sisi kritis terhadap poligami berpendapat bahwa poligami dapat menimbulkan kecemburuan dan sakit hati terhadap sesama perempuan. Sementara dalam tulisannya Zahara mengkritik hal yang lebih tabu dan tidak lazim dibicarakan.
Barangkali yang kadung dipercaya oleh masyarakat adalah perempuan yang dipoligami memiliki sifat yang sabar, penuh kasih, dan menerima dengan sepenuh hati situasi poligami yang dihadapinya. Pada persoalan ini Zahara mengungkap realitas, bahwa banyak perempuan di Minangkabau yang bunuh diri karena dipoligami. Poligami nyatanya mengakibatkan perempuan merasa direndahkan. Bagi sebagian perempuan yang dipoligami mati menjadi pilihan yang lebih baik ketimbang menanggung beban yang diibaratkan “seperti disiksa seribu jin”. Bagi Zahara, poligami menyebabkan penderitaan fisik dan nonfisik bagi perempuan.
Pada awal abad ke-20 ketika beroperasinya Soenting Melajoe, surat kabar itu seperti menjadi alat pemberontakan, senjata, wadah pergerakan, dan perjuangan bagi perempuan untuk nasib yang lebih baik bagi kaumnya yang sering terdiskriminasi. Meskipun demikian, Roehana Koeddoes sebagai pelopor surat kabar tersebut juga tidak mengkehendaki tercerabutnya perempuan dari adatnya. “Tidak sedikit perempoean jang soedah pintar laloe meloepakan adatnja dan meniroe adat Eropa. Hal jang seperti ini sepanjang pemikiran hamba petoetlah dijauhi. Meskipoen dada kita soedah menjadi goenoeng pengetahoean tetapi adat kita jang soedah toeroen menoeroen jangan dihilangkan”[7] (Soenting Melajoe No. 11: 13 Maret 1914). Begitulah ia menuliskan perspektifnya terkait kemajuan perempuan melalui bidang pendidikan.
Salah satu persoalan yang dominan menjadi bahasan para penulis di Soenting Melajoe ialah terkait pendidikan formal untuk perempuan. Bagi para penulis ini, perempuan yang masih buta huruf dan tidak bisa membaca tulisan latin bukanlah kerena mereka bodoh. Akan tetapi, perempuan di masa itu tidak diberi kesempatan yang sama untuk bersekolah. Penulis-penulis di Soenting Melajoe mengkritik dan sangat menyayangkan para orang tua yang enggan mengirim anak perempuannya ke sekolah meskipun fasilitas sekolah untuk perempuan sudah tersedia. Persektif yang diyakini oleh perempuan-perempuan yang menulis di kala itu yaitu pendidikan merupakan cara bagi kaum perempuan untuk mencapai kemajuannya. Pandangan para penulis di Soenting Melajoe terkait pendidikan untuk perempuan tidak selalu memperoleh dukungan, bahkan mereka menghadapi penentangan. Kalangan seperti kaum adat adalah yang memiliki pandangan yang bertentangan terkait hal itu.
Namun, di satu sisi Soenting Melajoe juga seolah menunjukkan keberpihakan dan dukungannya terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Surat kabar ini seolah mengisyaratkan memang ada kesan bahwa belum sepenuhnya anti kolonial. Misalnya dengan terdapatnya tulisan Roehana Koeddoes yang memberi ucapan selamat ulang tahun pada pemerintahan kolonial Belanda. Namun, sikap seperti demikian juga tidak dapat dikatakan tidak nasional.
Esensi utama dari perempuan-perempuan di Soenting Melajoe ialah untuk kemajuan perempuan bumi putera. Memberikan pendidikan untuk mereka hingga kesempatan yang setara dengan laki-laki ketika terjun ke publik. Ketika itu, tokoh perempuan penulis di Soenting Melajoe membentuk gerakan emansipasi dan perserikatan perempuan dari berbagai daerah di Hindia Belanda. Tentu saja, sikap tersebut dapat dikatakan sebagai bagian dari sikap nasionalisme.
Pers Perempuan: Dahulu dan Sekarang
Media masa terkait perempuan, baik yang dikelola oleh perempuan maupun yang berbicara mengenai perempuan rupanya sempat mengalami perkembangan yang dapat dikatakan berdampak negatif. Dampak ini terkait dengan era reformasi dan kemajuan teknologi pada masa itu. Dampak negatif tersebut berupa ideologi surat kabar perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi objek atau bahan berita untuk dikonsumsi. Surat kabar dan majalah serupa ini mengontruksi standar ideal yang diperuntukkan bagi perempuan.
Pada masa itu, media masa terkait perempuan memunculkan citra ideal, baik yang berkaitan dengan tubuh perempuan maupun karier perempuan. Suara tentang pembebasan perempuan dan isu gender kurang terlihat. Bila dibandingkan dengan masa sebelumnya, yakni media masa di masa penjajahan kolonial Belanda seperti Soenting Melajoe, media masa tentang perempuan di masa reformasi ini dapat dikatakan mengalami kemunduran.
Meski demikian, pers perempuan juga tidak selalu berada pada kemunduran tersebut. Saat ini misalnya, dapat dikatakan cukup banyak media yang berfokus menggaungkan isu gender, kesempatan yang setara bagi beragam gender di muka publik, dan isu lainnya bagi kelompok-kelompok yang hingga sekarang masih termarjinalkan. Media yang cukup populer tersebut di antaranya ialah Konde.co, Magdalena, dan Puan Menulis, dan Perkawanan Perempuan Menulis. Bila diperhatikan, beragam media tersebut memiliki semangat yang sama dengan kemunculan Soenting Melajoe di masa kolonial Belanda.
Tentu saja, suara-suara yang digaungkan memiliki perbedaan dikarenakan terdapat perbedaan situasi dan kondisi zaman. Namun, beberapa isu yang masih terus menjadi fokus pembahasan setidaknya ialah terkait kesetaraan gender, KDRT, dan kekerasan seksual. Persoalan-persoalan tersebut nyatanya masih memerlukan perempuan penggerak hingga saat ini. Oleh sebab itu, dapatlah dikatakan perjuangan perempuan, isu sosial, dan kesetaraan belum selesai. Kepedulian Roehana Koeddoes terhadap kesejahteraan perempuan masih perlu direfleksikan oleh perempuan masa kini di manapun ia berada.
[1] Jones, Bronwyn Anne Beech. 2020. “Narrating intimate violence in public texts: Women’s writings in the Sumatran newspaper Soenting Melajoe.” In Gender, Violence, and Power in Indonesia: Across Time and Space Edited by Katherine McGregor, Ana Dragojlovic, and Hannah Loney. New York: Rouledge.
[2] Rasjid Dahlan, dkk. Dalam Kajian Lintas Media: Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859—1940-an). Hlm. 220.
[3] Chaniago, Danil M. 2014. “Perempuan Bergerak: Surat Kabar Soenting Melajoe 19121921”. Jurnal Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender. Vol. IV No. 1, hlm. 86.
[4] Ibid. Hlm. 87.
[5] Jones, Bronwyn Anne Beech. 2020. “Narrating intimate violence in public texts: Women’s writings in the Sumatran newspaper Soenting Melajoe.” In Gender, Violence, and Power in Indonesia: Across Time and Space Edited by Katherine McGregor, Ana Dragojlovic, and Hannah Loney. New York: Rouledge.
[6] Ibid.
[7] Chaniago, Danil M. 2014. “Perempuan Bergerak: Surat Kabar Soenting Melajoe 19121921”. Jurnal Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender. Vol. IV No. 1, hlm. 90.
0 Comments