Pentingnya Kesantunan Berbahasa: Memahami Kato Nan Ampek dalam Interaksi di Sekolah Sebagai Nilai Kearifan Lokal
Dra. Nurhidayati, Guru Bahasa Indonesia MTsN 13 Agam
Saya prihatin mendengar cara komunikasi sebagian siswa di sekolah. Seperti cara komunikasi yang kasar seperti membentak, berbicara seakan sama besar dan cenderung merendahkan guru menjadi hal yang memprihatinkan. Ada hal yang mulai memudar dari tutur kata siswa, yaitu kesantunan dalam berbahasa. Bagi saya ini persoalan penting, karna kesantunan menjadi salah satu indikator dalam membangun bangsa yang bermartabat. Di sekolah, tempat generasi penerus bangsa dididik, penggunaan bahasa yang santun merupakan suatu keharusan.
Persoalan komunikasi secara verbal tidak dapat dipisahkan dari penggunaan bahasa lisan. Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang berperan dalam menyiapkan generasi penerus bangsa yang cerdas, memiliki daya saing, dan berakhlak mulia. Kesantunan berbahasa merupakan suatu indikasi dalam proses menjadi bangsa maju dan terkemuka. Oleh sebab itu, santun dalam berkomunikasi menjadi suatu keharusan bagi semua anggota masyarakat di lingkungan sekolah, baik itu pimpinan, guru, pegawai tata usaha, dan siswa.
Pembahasan difokuskan terhadap persoalan penggunaan bahasa secara tepat sesuai nilai kearifan lokal yang ada di Minangkabau. Kearifan lokal adalah kemampuan seseorang dalam berperilaku atau bersikap dengan menggunakan akal budinya di daerah setempat[1]. Di Minangkabau dikenal dengan istilah Kato Nan Ampek dalam budaya berbahasa, yaitu kato mandaki, kato mandata, kato malereng, dan kato manurun. Navis menjelaskan bahwa Kato Nan Ampek atau disebut juga dengan empat langgam kata dalam bahasa Minangkabau, yaitu kato mandaki, bahasa yang digunakan orang yang status sosialnya lebih rendah dari lawan bicara; kato manurun, bahasa yang digunakan orang yang statusnya lebih tinggi dari lawan bicara; kato malereang, bahasa yang digunakan orang yang posisinya sama, yang saling menyegani; dan kato mandata, bahasa yang digunakan di antara orang yang status sosialnya sama dan hubungannya akrab[2].
Secara umum, Kato Nan Ampek dapat dipahami sebagai rambu-rambu dalam berkomunikasi sesuai dengan adat-istiadat di Minangkabau. Sebagai seorang guru yang kesehariannya banyak meluangkan waktu di sekolah, pengunaan kato mandaki dan kato manurun menjadi jenis langgam kato yang sering digunakan. Tanpa mengesampingkan dua langgam kato lainnya, kato mandaki dan kato manurun sudah menjadi kewajiban budaya berkomunikasi di lingkungan sekolah. Komunikasi yang dilakukan guru kepada pimpinan (kepala sekolah), siswa kepada guru, adik kelas kepada kakak kelas, bahkan komunikasi guru kepada guru yang lebih tua (dalam hal usia) haruslah menggunakan kato mandaki. Hal itu sebagai bentuk penghormatan dalam berkomunikasi. Praktik komunikasi jenis kato mandaki ini menitik beratkan terhadap rasa penghormatan yang tinggi terhadap lawan bicara.
Begitupun sebaliknya, untuk mengayomi dan menyayangi yang lebih kecil maka digunakanlah langgam kato manurun. Di sekolah tidak hanya siswa yang dituntut untuk dapat berperilaku santun dalam berkomunikasi, berlaku juga bagi guru. Komunikasi guru yang menyenangkan tanpa mengecilkan lawan bicara (siswa) akan dapat menimbulkan semangat dan rasa percaya diri peserta didik. Guru menjadi contoh siswa dalam berperilaku, begitupun dalam berkomunikasi, maka harus dikedepankan komunikasi yang dapat menjadi panutan bagi siswa. Dengan demikian, akan menimalisir pertikaian atau konflik yang muncul akibat dari ketersinggungan ujaran yang dikeluarkan.
Selain penerapan kato nan ampek itu, hal yang perlu diperhatikan dalam komunikasi adalah intonasi. Tidak jarang kita salah memahami perkataan seseorang dikarenakan nada suara yang bicara. Terkadang kita merasa kaget dan marah saat mendengar kawan bicara dengan intonasi yang keras. Begitu sebaliknya, terkadang kawan bicara kita mengungkapkan hal yang tidak menyenangkan tapi dengan intonasi lembut dapat juga mengubah suasana hati pendengar. Dengan begitu, intonasi menjadi bagian penting dan perlu untuk diperhatikan dalam berkomunikasi dengan menyesuaikan situasi dan kondisinya.
Menciptakan suasana komunikasi di sekolah berlandaskan nilai kearifan lokal juga bagian dari implementasi dalam menerapkan Perda Sumatera Barat No. 6 Tahun 2014[3]. Pada Bab I Pasal I poin 8 dituliskan, bahwa pelestarian adalah upaya untuk menjaga, melindungi, memelihara dan mengembangkan adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan, terutama etika, moral, dan tata kelakuan yang merupakan inti dari kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat dan lembaga adat. Selain itu, salah satu dari misi Kabupaten Agam yaitu meningkatkan kehidupan bermasyarakat yang madani, berlandaskan Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabulllah (ABS-SBK), yang dapat terlihat dari meningkatnya kehidupan masyarakat yang aman dan tertib berlandaskan nilai-nilai agama, adat dan budaya[4].
Praktik komunikasi dengan menerapkan Kato Nan Ampek tidak semudah menjelaskan teorinya. Namun, tidak ada kata terlambat dan tidak ada istilah sulit untuk menerapkannya. Memahami Kato Nan Ampek dalam komunikasi di sekolah merupakan bentuk menjaga nilai kearifan lokal dalam membentuk generasi yang bermartabat. Komunikasi yang santun dan menghargai kawan bicara tentu akan menciptakan suasana harmonis dan kondusif dalam proses belajar-mengajar. Guru, murid, dan semua masyarakat di sekolah perlu bersama-sama mengimplementasikan nilai-nilai ini dalam rutinitas di sekolah. Semoga dengan upaya ini, dunia pendidikan mampu menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga berakhlak mulia dan berbudaya.
[1] Jayapada, Gegana, Faisol dan Binti Mariyatul Kiptiah. 2017. “Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Sebagai Media Pendidikan Karakter untuk Membentuk Literasi Moral Siswa”. Makalah dalam Jurnal Bibliotika: Jurnal Kajian Perpustakaan dan Informasi Vol. 1 No. 2 April 2017. Hlm. 60-62. http://journal2.um.ac.id/index.php/bibliotika/article/view/2309/1399.
[2] A.A. Navis. 1986. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pustaka Grafiti Press.
[3] Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Penguatan Lembaga Adat dan Pelestarian Nilai Budaya Minangkabau. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/ld/2014/Prov-SumateraBarat-6-2014.pdf.
[4] Poin kelima dari Misi Kabupaten Agam. https://www.agamkab.go.id/Agamkab/visimisi
0 Comments