Pengaruh Islam Dalam Tambo Minangkabau

Published by admin on

Rizhasca Samra, Alumnus Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Tambo menurut Navis (1984: 45) berasal dari bahasa Sanskerta; tambay atau tambe yang berarti ‘bermula’. Tambo juga dapat diartikan sebagai sejarah silsilah keturunan, riwayat zaman dahulu (Djamaris, 1991: 13). Sedangkan menurut Kartodirdjo (dalam Djamaris, 1991: 31) tambo dapat dikatakan sebagai sastra sejarah, kata tambo digunakan sebagai judul cerita prosa lama yang disebut sastara sejarah atau histogriografi tradisional, yaitu penulisan sejarah menurut kepercayaan atau pandangan masyarakat atau pandangan masyarakat seetempat secara turun temurun.

Berbeda dengan pendapat beberapa ahli di atas, jika merujuk kepada isi tambo sendiri dikatakan bahwa ‘tambo’ merupakan sebuah undang-undang yang takluk kepada raja. Sehingga dapat dipahami bahwa tambo bermakna undang-unadang atau adat dan limbago di alam Minangkabau. Hal ini berkesesuaian dengan isi tambo itu sendiri yang menjelaskan tentang sejarah asal usul orang Minangkabau beserta adat dan limbagonya.

Masyarakat Minangkabau pra Islam menganut agama Hindu-Budha serta menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Setelah Islam masuk dan berkembang di Minangkabau, keprcayaan tersebut mulai dirubah dan diberi pengaruh Islam yang kemudian secara perlahan-lahan hilang dan berganti dengan kepercayaan Islam. Meskipun masyarakat Minangkabau awalnya memeluk agama Hindu-Budha, namun hal itu tidak tergambar dalam tambo Minangkabau yang dipercaya menjelaskan tenang asal usul orang Minangkabau yang menjadi pegangan orang Minangkabau hingga saat ini. Tambo Minangkabau lebih memperlihatkan unsur-unsur keislaman dibandingkan unsur-unsur Hindu-Budaha.

Unsur-Unsur keislaman dalam tambo dapat dilihat dari beberapa aspek di dalam tambo:

Pertama, dalam pembukaan tambo itu sendiri, umumnya tambo dibuka dengan puji-pujian kepada Allah dan penciptaan alam semesta beserta puji-pujian kepada Adam sebagai manusia pertama dan sebagai khalifah Allah dimuka bumi yang menciptakan hukum dan undang-undang yang kemudian disempurnakan oleh Nabi Muhammad Saw. dan diformulasikan oleh Imam empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali), hal tersebut seperti:

“Segala puji bagi Allah tuan ( tuhan ) segala alam yang menerang tujuh pitala langit dan bumi dengan berkah nabi Allah Adam alaihissalam yang menjadikan Ia Allah itu akan segala malaikat berapa sayap – sayap dua-dua dan tiga-tiga dan empat dan pakaian pada sekalian alam pada negeri Arab dan Ajam dan pakaian masyrik dan maghrib dan pakaian orang besar – besar raja dan pakaian negeri Arab dan pakaian negeri  Ajam pada mula nabi Allah alaihissalam dan hukum yang sebenarnya dan lalu ia kepada kesudahan nabi dan kesempurnaan nabi dan iaitu Muhammad saw dan pendapat imam nan berempat dan segala orang berakal mereka itu dan dalam negeri Arab dan Ajam semuanya.”

Kedua, dalam tambo menceritakan perperangan yang terjadi dilautan antara Datuk Katomanggungan, Datuk Parpatih Sabatang dan Suri Dirajo dengan orang Belanda. Perperangan terjadi karena ketiga datuk menyuruh Belanda untuk tunduk dan memeluk agama Islam, namun Belanda enggan melaksanakan perintah itu sehingga terjadilah perang, namun kemudian perperangan dimenangkan oleh ketiga Datuk sehingga orang-orang tersebut memeluk Islam, hal itu seperti yang terdapat di dalam tambo:

“Adapun kemudian daripada itu maka mufakatlah nan bertiga di Balai Balerong Panjang akan menjalan laut dan rantau yakni Datuk Katomanggungan dan Datuk Prapatih Sabatang dan Datuk Suri Marajo Neko-Neko, maka turunlah ke saung seluk belum bernama Tiku Pariaman masa itu, karena terdengar Ulando Setan daripada negerinya banyak berlayarlah tiba di Pulau Pisang maka tiba-tiba berlayar Datuk nan Bertiga itu maka bertemu dengan Ulando Setan maka berkata Datuk nan bertiga tadi artinya Datuk Katomanggungan dan Datuk Prapatih Sabatang serta Suri Marajo Neko-Neko “hai Ulando Setan mau kamu mengata asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan // // Rasulullah, maka menyahut jendral “ hai segala Melayu Setan, adapun kita orang seibu sebapak pada masa ninik kita Adam alaihissalam, sekarang kamu tiada kita seagama, maka janganlah kamu memaki-maki kepada segala orang putih”, maka menyahut Datuk Katomanggungan dan Datuk Prapatih Sabatang dan Suri Marajo Neko-Neko, “benar kata seibu sebapak, salah kata kamu mengatakan tiada seagama”, maka peranglah di tengah laut empat bulan sepuluh hari lamanya, maka merahlah laut nan Sadidi oleh darah si kafir maka dapat perahu sebuah kapal beberapa pakaian dalamnya, maka tunduk segala kafir, maka masuk Islam sekarang itu jua maka diberinya emas sepuluh koin maka kembali daripada perang itu maka ditinggalkan anak berdua, seorang laki-laki dan seorang perempuan, itulah yang jadi raja di batang rantau //  // Tiku Pariaman.”

Dari beberapa bukti secara tekstual di atas yang ditemukan dalam tambo Minangkabau, maka dapat dikatakan bahwa tambo Minangkabau diproduksi oleh ulama pada masa Islam telah berkembang pesat di Minangkabau, diasumsikan awal abad ke-18. Hal ini dikarenakan kisah dalam tambo secara umum berpusat kepada Datuk Katomanggungan dan Datuk Parpatih yang menganut agama islam, bukan Hindu-Budha. Selain itu, tambo Minangkabau tidak mengenal nama Adityawarman yang secara historis dipercaya sebagai Raja kerajaan Pagaruyung apada abad ke-13. Sehingga tampak jelas bahwa tambo dipengaruhi oleh unsur-unsur keislaman yang kuat.

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *