Naskah Kuno: Entitas yang (Sengaja) Disembunyikan
Rosidatul Arifah, Mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Indonesia merupakan negara multikultural. Dari Sabang hingga Merauke, keanekaragaman budaya, kepercayaan, dan adat-istiadat yang membentang luas menjelaskan betapa mewahnya khazanah budaya bangsa ini. Berbicara tentang kebudayaan adalah sebuah diskusi tanpa akhir. Kini, sorotan terhadap budaya menjadi semakin serius, karena budaya bukan hanya aset berharga tetapi juga identitas suatu masyarakat. Salah satu aspek menarik dalam kajian budaya adalah bagaimana manusia masa kini terus berusaha mempelajari kehidupan masa lampau, salah satunya melalui naskah kuno.
Sebagai warisan peradaban yang tak ternilai, naskah kuno adalah jendela ajaib yang menghidupkan kembali peristiwa-peristiwa unik dari masa lalu. Melalui naskah-naskah ini, sejarah terajut menjadi narasi yang memperkaya khazanah dan intelektualitas budaya kita. Namun, meski eksistensinya semakin diakui oleh para budayawan, naskah-naskah kuno ini sering berada dalam kondisi yang mengancam kelestariannya. Upaya pelestarian naskah kuno menghadapi berbagai tantangan yang bisa membuat harta karun budaya ini hilang selamanya.
Dalam upaya memahami situasi dari sudut pandang masyarakat awam, saya melakukan kunjungan ke beberapa surau untuk mengamati naskah kuno. Saya memutuskan untuk mengunjungi dua surau: Surau Baru di sekitar kampus Universitas Andalas dan Surau Data di Nagari Tandikek, Padang Pariaman. Kunjungan ini bertujuan untuk mencari informasi terkait naskah kuno yang mungkin dimiliki oleh kedua surau tersebut, terutama Surau Data yang dikenal berpotensi tinggi memiliki naskah kuno. Penamaan surau-surau ini, yang tidak mengandung unsur islami atau kosa-kata bahasa Arab melainkan memakai nama daerah setempat, menjadi salah satu petunjuk dalam mengidentifikasi surau-surau dengan koleksi naskah kuno.
Kunjungan pertama saya ke Surau Baru mengungkap kondisi fisik yang memprihatinkan. Sebagian besar bangunan surau tidak utuh dan tidak bisa difungsikan sebagaimana mestinya. Setengah dari ruangan digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai fasilitas umum, seperti kamar mandi. Di pojok surau, saya menemukan kasur, bantal, dan barang-barang lain yang biasanya ada di ruang tidur, yang ternyata milik sang penjaga surau. Kondisi ini menggambarkan kesuraman yang mengancam warisan budaya berharga kita.
Setelah mengamati kondisi surau, saya menyampaikan tujuan kunjungan. Ketika menanyakan keberadaan naskah kuno, penjaga surau langsung menunjukkan gelagat kurang nyaman. Wajahnya yang semula cerah berubah menjadi berkenan. Saya menduga penjaga mencurigai saya ingin membeli naskah tersebut. Meskipun saya menjelaskan bahwa tujuan saya adalah untuk bahan perkuliahan, penjaga tetap menolak menunjukkan naskah dengan alasan yang tidak diungkapkan.
Tak menyerah, kunjungan berikutnya saya lakukan ke Surau Data, yang tidak jauh dari kampung halaman. Surau Data sebenarnya lebih cocok disebut Masjid Raya karena bangunannya cukup besar dan sering digunakan untuk ibadah salat Id. Namun, masyarakat setempat tetap memilih menyebutnya surau sebagai bentuk cinta dan penghormatan terhadap sejarah. Sebagai salah satu surau tertua di nagari tersebut, Surau Data dirawat dan dilestarikan dengan penuh perhatian oleh masyarakat setempat.
Pada kunjungan berikutnya, saya bernegosiasi dengan khatib yang juga seorang gharim di Surau Data. Saya menjelaskan maksud dan tujuan ingin melihat naskah pidato khutbah yang saya dengar saat salat Id. Terbiasa berada di lingkungan Nahdlatul Ulama, saya merasa asing mendengar khutbah raya yang disampaikan khatib dalam bahasa Arab dari awal hingga akhir, dibacakan dari segulungan naskah di tangannya. Seperti pengumuman, khatib membacakan halaman demi halaman dengan teratur dan detail. Meskipun saya tidak mengerti isi khutbah, perhatian saya tertuju pada naskah di tangan khatib.
Sang khatib memberikan apresiasi atas keinginan saya untuk melihat naskah pidato yang menjadi ciri khas tarekat di banyak surau di daerah Padang Pariaman. Namun, ia kemudian meminta maaf beberapa kali karena tidak bisa memenuhi permintaan saya untuk melihat naskah tersebut, tanpa memberikan alasan yang jelas. Saat pulang, saya menyimpulkan bahwa masyarakat, terutama sang khatib, menganggap naskah tersebut sangat sakral dan keramat sehingga tidak boleh diperlihatkan kepada siapa pun secara sembarangan.
Dalam perjalanan tersebut, saya masih merenung mengapa masyarakat setempat begitu keras dalam menyembunyikan naskah-naskah kuno yang mereka anggap sebagai warisan. Mereka masih merasa waspada terhadap orang luar atau pendatang, menganggap mereka sebagai ancaman yang mungkin merusak atau menghina keyakinan mereka. Ada beberapa alasan yang mungkin mendasari keputusan mereka untuk menyembunyikan naskah kuno. Salah satunya adalah untuk menjaga keaslian dan kekudusan isi naskah tersebut, yang dianggap sebagai warisan suci, rahasia, atau sakral, baik dari sudut pandang agama maupun keamanan. Selain itu, ada kecurigaan terhadap motif komersial dari pihak-pihak tertentu yang ingin menjaga informasi tertentu yang dapat mengganggu kepentingan mereka.
Terlepas dari asumsi tersebut, saya melihat bahwa situasi semacam ini sebenarnya menjadi tantangan ganda bagi masyarakat dan lembaga pelestarian naskah. Saya yakin bahwa kasus yang saya alami bukanlah yang pertama kali terjadi dalam upaya pelestarian naskah. Di satu sisi, masyarakat lokal khawatir akan dirugikan jika pihak yang datang hanya mencari keuntungan komersial. Namun, di sisi lain, mempertahankan asumsi semacam itu dapat menjadi hambatan besar dalam upaya penyelamatan naskah oleh para pemerhati naskah. Oleh karena itu, diperlukan tindakan cermat dari pemerintah dalam menangani hal ini, sementara masyarakat juga perlu diberi pemahaman lebih lanjut mengenai pentingnya pelestarian naskah untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman antara para pemerhati dan masyarakat secara umum.
0 Comments