Menyelam dalam Tradisi: Keceriaan Pembongkaran Ikan Larangan di Nagari Sitalang
Muhammad Aqil Jawwad, Mahasiswa Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Padang
Ada sesuatu yang selalu memikat hati saya untuk pulang kampung, yaitu keindahan alamnya yang memanjakan mata dan tradisi serta kearifan lokal yang begitu kaya. Sebagai perantau yang kembali saat hari Lebaran, baik Idulfitri maupun Iduladha, saya sangat menantikan momen-momen istimewa yang dihelat masyarakat setempat. Acara kepemudaan yang meriah, pertunjukan kesenian tradisional yang memukau, atau pembongkaran ikan larangan di sungai yang penuh kegembiraan selalu ramai pengunjung, terutama para perantau yang rindu akan kebersamaan dan kehangatan kampung halaman.
Di antara berbagai acara yang diselenggarakan saat momen Hari Raya Idulfitri, tradisi pembongkaran (bongka) ikan larangan menjadi daya tarik tersendiri yang patut diulas. Tradisi unik ini berlangsung di Nagari Sitalang, Kecamatan Ampek Nagari, Kabupaten Agam, dan sarat akan nilai-nilai kebudayaan yang kental. Pertama, tradisi pembongkaran ikan larangan ini khusus dilakukan saat momen Idulfitri, menciptakan nuansa kebersamaan yang erat di antara masyarakat. Kedua, mitos-mitos yang menyelimuti larangan menangkap ikan di sungai tersebut menambah keunikan dan kekayaan cerita lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kedua aspek ini bagi saya sangat menarik untuk diulas dari segi kebudayaan. Ada berbagai rangkaian kegiatan yang biasanya dilaksanakan dalam momen halal bi halal Idulfitri di kampung. Pertama, mengenai tradisi pembongkaran ikan larangan yang menjadi agenda besar yang dinanti-nantikan oleh masyarakat, tidak hanya oleh warga setempat tetapi juga oleh para perantau. Pembongkaran ikan larangan ini mampu menarik minat masyarakat untuk ikut berpartisipasi. Ada beberapa kategori bagi yang ingin turut serta dalam menangkap ikan, yakni kategori badia/tembak lauak (pistol ikan) dan kategori jalo lauak (jala ikan).
Kedua kategori ini sama-sama memiliki banyak peminat. Tak hanya itu, keduanya juga menawarkan keunikan dan keseruan tersendiri dalam menangkap ikan. Khusus untuk kategori badia-badia lauak, saya melihat banyak remaja atau pemuda, mungkin seusia saya, sekitar 20-an tahun. Barangkali, sensasi unik yang dirasakan saat menangkap ikan dengan badia-badia ini menjadi daya tarik tersendiri. Bisa dikatakan, aktivitas ini serupa dengan menyelam sambil menembak ikan, memberikan pengalaman yang mendebarkan dan penuh tantangan. Hal ini tentu saja menambah semarak dan keasyikan dalam tradisi pembongkaran ikan larangan, menciptakan momen yang tak terlupakan bagi para peserta dan penonton.
Keseruan menembak ikan di sungai dalam acara bongkar ikan larangan sungguh tak tertandingi. Ketika para pemuda dan remaja, yang dipersenjatai dengan badia-badia lauak (pistol ikan) menyelam, sorak penonton di pinggir sungai terdengar riuh rendah. Setiap tembakan mengenai sasaran disambut dengan tepuk tangan meriah dan teriakan kegembiraan. Air sungai yang memercik, suara tawa dan canda para peserta, serta ikan-ikan yang melompat-lompat menambah semarak suasana. Kegembiraan ini menjalar ke semua yang hadir, menciptakan sebuah momen kebersamaan yang hangat dan tak terlupakan, memperkuat ikatan antarwarga dan para perantau yang kembali ke kampung halaman.
Keseruan juga terlihat jelas dari antusiasme masyarakat yang menyaksikan kegiatan tersebut. Mereka memenuhi pinggiran sungai, ada yang sibuk merekam momen dengan kamera smartphone, ada pula yang berteriak memberi dukungan atau terkaget-kaget melihat ikan tangkapan yang besar. Ikan-ikan yang didapatkan pun merupakan ikan khas sungai, seperti ikan gabus, patin, dan lain-lain. Menariknya, bagi yang ingin menikmati kuliner, tersedia aneka jajanan khas dan tradisional. Saya sendiri paling suka dengan pensi dan kerupuk kuah mi. Keseruan dari kegiatan bongka ikan larangan ini sungguh tak terhingga, apalagi ditambah dengan cerita-cerita atau mitos yang melekat pada ikan larangan tersebut, yang tentunya menarik untuk dibahas. Suasana ini bukan hanya sekadar menangkap ikan, tetapi juga merayakan kebersamaan dan keunikan tradisi yang kaya akan nilai-nilai budaya.
Terdapat sebuah tradisi yang berkembang di masyarakat mengenai larangan menangkap ikan di aliran sungai tertentu. Ikan di wilayah tersebut hanya boleh ditangkap pada waktu yang telah disepakati bersama oleh pemuka adat, pemuda, tokoh agama, dan pimpinan nagari. Perlu dicatat bahwa tidak semua aliran sungai di nagari ini termasuk dalam kategori larangan; hanya beberapa lokasi tertentu yang ditandai sepanjang aliran sungai. Setiap tempat yang menjadi wilayah larangan biasanya dilengkapi dengan tanda khusus, sebagai pengingat bagi semua pihak untuk menghormati aturan ini.
Daerah larangan ini menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat setempat. Bagi siapa pun yang nekat atau berani menangkap ikan di kawasan tersebut, mereka percaya bahwa akan ada malapetaka yang menimpanya. Malapetaka ini bisa berupa penyakit yang diderita oleh penangkap ikan atau bahkan kemalangan yang lebih besar. Cerita ini, meskipun sulit dipercaya, telah berkembang di masyarakat dan sering disebut sebagai bala. “Jangan ditangkap juga lauk larangan itu, nanti kanai bala beko!”, demikian kalimat yang sering saya dengar tentang kisah ikan larangan ini.
Bala yang dimaksud merupakan hal-hal buruk, entah itu kemalangan, penyakit, atau kerugian yang akan diterima. Cerita ini tentu menjadi aturan tidak tertulis yang tertanam bagi masyarakat akan larangan untuk menangkap ikan larangan. Dalam kajian budaya sering kita mengenal dengan istilah foklor yang dapat berfungsi sebagai legitimasi dan juga memuat nilai edukasi di dalamnya. Cerita tesebut menjadi bagian penting dari kearifan lokal yang menjaga kelestarian ekosistem sungai. Larangan ini mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dan alam, serta pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan. Dengan adanya peraturan ini, masyarakat berusaha memastikan bahwa populasi ikan tetap terjaga, sehingga tradisi pembongkaran ikan larangan dapat terus dilestarikan dari generasi ke generasi.
Akhirnya, tradisi pembongkaran ikan larangan di Nagari Sitalang bukan sekadar ritual, melainkan sebuah perayaan hidup yang sarat makna. Setiap tahun, saat suara riuh kegembiraan menggema di tepi sungai, kita diingatkan akan pentingnya menjaga warisan budaya dan lingkungan. Momen ini menciptakan sinergi antara alam dan manusia, mengukuhkan rasa persatuan di antara masyarakat yang telah terjalin selama bertahun-tahun. Dalam setiap tembakan badia-badia lauak, terdapat cerita yang diwariskan, mengalir bersama arus sungai yang tak pernah surut. Dengan demikian, kita bukan hanya menangkap ikan, tetapi juga merangkul masa lalu, menyambut masa depan, dan merayakan kehidupan yang penuh warna. Semoga tradisi ini terus berkepanjangan, menjadi cahaya yang menerangi jalan kita dalam menjaga kearifan lokal dan kebersamaan yang hakiki, selamanya.
0 Comments