Kebudayaan Minangkabau Dalam Cengkraman Komodifikasi

Published by admin on

Muhammad Fadli, Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Apa yang bisa dibanggakan suatu kelompok masyarakat selain identitasnya? Bagaimana kebanggaan itu kemudian memberikan respon terhadap identitas itu? Pertanyaan semacam ini adalah yang perlu dipertanyakan pada masa sekarang. Masa dimana tiada sekat lagi antara belahan dunia yang satu dengan belahan yang lainnya. Kerap disebut sebagai era globalisasi, era yang telah membuat kehidupan menjadi lebih universal. Zaman akan selalu bergerak maju tidak ada yang benar-benar lestari dari kehidupan antar zaman, begitu juga dengan kebudayaan. Tidak ada kebudayaan yang benar-benar bisa dilestarikan, dunia selalu bergerak maju maka tidak mungkin kebudayaan akan stagnan atau malah beringsut mundur.

Penulis tidak sepakat dengan pemikiran yang kekeh ingin mempertahankan keaslian suatu kebudayaan secara sempurna, sebab secara realita itu semua tidak akan pernah benar-benar terjadi secara sempurna. Sekali lagi dituliskan bahwa zaman akan selalu bergerak maju dan kebudayaan akan terus bergulir. Kemajuan zaman membawa perkembangan dan fenomena baru. Di zaman sekarang, globalisasi melahirkan anak kandung yang bernama pariwisata. Kemudian, pariwisata tidak akan bisa dilepaskan dari akumulasi modal, sebab mendirikan sebuah destinasi wisata berarti memproduksi jualan baru.

Pariwisata adalah berdagang. Lalu apa kaitannya pariwisata dengan pelestarian kebudayaan? Indonesia melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah menggalakkan industri pariwisata budaya. Sebabagai bentuk kebanggaan akan sebuah kebudayaan yang merupakan identitas suatu kelompok masyarakat, kemudian kebudayaan itu diperkenalkan melalui industri pariwisata. Dengan demikian, yang terjadi akan kebudayaan itu adalah komodifikasi budaya.

Kebudayaan yang semula hanya memiliki nilai guna kemudian bergeser menjadi nilai jual atau nilai tukar. Dengan kata lain kebudayaan yang semula sakral berubah menjadi profan. Hal ini tidak dapat terelakkan pada masa sekarang. Fenomena yang hadir hari ini tidak akan memungkinkan suatu kebudayaan akan memiliki keaslian yang benar-benar asli lagi, asli secara bentuk, nilai dan fungsi. Hal ini terjadi di seluruh Indonesia, sebagai contoh budaya yang paling terkomodifikasi oleh kemajuan industri pariwisata adalah kebudayaan di Bali.

Masuknya masa Mass Tourisme telah memberikan ladang baru bagi pemerintah, perusahaan dan masyarakat untuk mencari hidup, yaitu dengan menjadikan kebudayaan mereka sebagai suguhan kepada setiap pengunjung yang datang. Semua yang terjadi memberikan dampak baik secara ekonomi. Namun, tentu saja banyak dari kebudayaan Bali yang telah berubah fungsi. Atas dasar itu makin kuat bukti bahwa tidak akan ada kebudayaan yang akan tetap asli berdasarkan ukuran waktu tertentu di waktu setelahnya. Akan terus bergulir, bukankan perubahan itu juga adalah kebudayaan? Budaya yang merupakan akal budi manusia.

Dengan gambaran di atas membuat penulis tertarik melirik kebudayaan Minangkabau hari ini, apakah juga telah terkomodifikasi? Minangkabau dengan kebudayaannya yang beragam dan khas memberikan peluang besar pada setiap bentuk kebudayaan dan produk kebudayaan itu untuk menjadi komoditas pariwisata. Pendirian kelompok-kelompok sadar wisata di nagari-nagari yang didukung oleh dinas pariwisata memberikan tempat khusus bagi kebudayaan Minangkabu. Realitannya, hari ini kebudayaan Minangkabau telah tercengkram oleh komodifikasi budaya.

Sebagai contoh bisa dilihat pada objek wisata replika Istano BasaPagaruyuang yang menjadi destinasi wisata. Untuk dapat masuk ke dalam kawasan replika istana itu setiap pengunjung harus membeli karcis atau tiket, artinya secara tidak langsung replika istana itu sudah menjadi objek wisata, bukan sebagai sebuah rumah gadang lagi yang menjadi salah satu entitas penting dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Selain itu, di dalam replika istana itu juga dipajang berbagai benda kebudayaan Minangkabau seperti pakaian adat, replika ruangan rumah gadang, kamar, dan sebagainya. Terkhusus untuk pakaian adat, pakaian itu juga disewakan kepada para pengunjung untuk berswafoto.

Sewa artinya pengunjung juga harus merogoh rupiah lagi untuk dapat mengenakan pakaian tersebut. Baju adat seperti pakaian mempelai yang harusnya untuk dikenakan pasangan pengantin pada acara resepsi pernikahan, juga telah memiliki nilai tukar untuk disewakan kepada pengunjung. Dalam Kawasan replika istana itu juga telah ada tambahaan wahana seperti tempat berkuda sebagai salah satu sarana pendukung aktivitas wisata, juga disewakan. Artinya, kebudayaan Minangkabau yang dicerminkan pada Kawasan replika Istano Basa Pagaruyuangtelah terkomodifikasi, bukan untuk kepentingan tradisi namun untuk menunjang aktivitas pariwisata. Itu adalah salah satu contoh dari sekian banyaknya benda budaya yang telah terkomodifikasi di Minangkabau.

Namun, apakah satu contoh itu bisa mewakili kebudayaan Minangkabau? Tentu saja bisa mewakili, sebab dalam contoh yang dikemukakan di atas adalah bentuk kompleks dari pengaruh dari kemajuan zaman terhadap kebudayaan Minangkabau. Contoh lain adalah di bidang kesenian tradisional Minangkabau sudah banyak yang dipertunjukan untuk kepentingan pariwisata. Hal itu bisa dilihat pada desa-desa wisata yang mulai banyak muncul di Sumatera Barat. Kelompok-kelompok kesenian yang ada di Minangkabau sekarang juga sudah berorientasikan kepentingan modal. Memang secara fungsi, kesenian fungsinya untuk menghibur. Jadi sah sah saja. Tidak ada yang salah dengan menjadikan kebudayaan sebagai daya tarik wisata.

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *