Gambaran Umum Khazanah Naskah Kuno Minangkabau
Dari hasil inventarisasi yang dilakukan oleh beberapa peneliti dalam dasawarsa terakhir ini, diketahui bahwa terdapat ratusan naskah yang tersebar di berbagai wilayah di Sumatera Barat (minus Mentawai). Ratusan naskah itu oleh penelitinya disebut sebagai ‘naskah Minangkabau’ atau ‘manuskrip Minangkabau’. Penggunaan kedua istilah tersebut mengacu pada karya-karya tulisan tangan dengan aksara Jawi atau Arab yang teksnya tentang apa saja dan ditulis dalam jangka waktu yang tidak terbatas dan terdapat di Sumatera Barat. Dengan demikian, semua naskah yang ditemukan di Sumatera Barat akan disebut dengan ‘naskah Minangkabau’ atau ‘manuskrip Minangkabau’; tidak peduli naskah itu berasal dari mana dan ditulis atau disalin oleh siapa.
Akan tetapi, dalam katalogus yang memuat naskah Melayu dan Minangkabau –seperti katalogus Ph. S van Ronkel (1908 A, 1908 B, 1909, 1913, 1921, 1946), katalogus Amir Sutaarga dkk. (1972), katalogus M.C. Ricklefs dan P. Voorhoeve (1977), katalogus Ali Haji Wan Mamat (1985) serta katalogus E.P. Wieringa (1998)—penggunaan istilah ‘naskah Minangkabau’ atau ‘manuskrip Minangkabau’ mengacu pada karya-karya yang ditulis dengan (tulisan) tangan, dengan aksara Jawi, Arab atau Latin yang umumnya merupakan hasil karya masa lampau (kuno atau klasik) dan mengandung teks keminangkabauan dan berasal dari Minangkabau (Sumatera Barat sekarang).
Berangkat dari fenomena di atas, maka dalam tulisan yang akan memaparkan tentang keberadaan, kondisi dan penelitian terhadap naskah-naskah di Sumatera Barat ini hanya menggunakan istilah ‘naskah’ saja, tanpa penambahan kata ‘Minangkabau’. Hal ini dimaksudkan agar lebih netral dan lebih jelas acuannya, yakni semua artefak budaya berupa tulisan tangan yang berada di Sumatera Barat (minus Mentawai).
Ratusan naskah yang ada di Sumatera Barat hanya sebagian kecil yang sudah tersimpan dan dikoleksi oleh lembaga formal. Di antara lembaga formal tersebut seperti Museum Adityawarman Provinsi Sumatera Barat di Padang, Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau di Padang Panjang, miniatur Rumah Gadang di Kebun Binatang Bukittinggi, Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat di Padang, Fakultas Sastra, Unversitas Andalas Padang dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang. Dalam jumlah yang jauh lebih besar, naskah di Sumatera Barat terdapat di surau-surau serta tersebar di tangan masyarakat secara perseorangan. Dilihat dari jenis teksnya, kebanyakan naskah yang ditemukan memuat teks keislaman, kemudian berturut-turut dengan jumlah yang lebih sedikit mengandung teks-teks adat dan undang-undang Minangkabau, azimat, perobatan, mantra dan surat-surat perjanjian. Kondisi di mana lebih banyak jumlah naskah yang memuat teks keislaman memperlihatkan bahwa dominasi Islam di Sumatera Barat cukup signifikan.
Sebagian besar koleksi naskah Minangkabau merupakan hasil tradisi intelektual ulama-ulama lokal. Naskah-naskah itu ditulis dan disalin di surau-surau yang beraliran tarekat tertentu. Tarekat yang dimaksudkan di sini adalah tarekat yang ada dan pernah berkembang di Minangkabau, yakni tarekat Samaniah, Naqsabandiyah dan Syattariyah. Surau-surau tarekat ini tersebar di berbagai tempat di Sumatera Barat (minus Mentawai).
Surau merupakan institusi lokal yang penting dalam transmisi dan penyebaran Islam di Minangkabau. Awalnya, sebagai pengaruh Islam, surau yang didirikan tidak jauh dari rumah gadang itu berfungsi sebagai tempat berkumpul para pemuda atau sebagai tempat menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial dan keagamaan (Graves 2007:7). Kemudian, ia berkembang menjadi suatu lembaga pendidikan tradisional di Minangkabau, tempat dan pusat pengajaran Islam. Hampir semua surau keagamaan itu menjadi basis pengembangan tarekat, baik Syattariyah, Naqshbandiyah, maupun Sammaniyah (Fathurahman 2008:22).
Di surau, syekh (guru tarekat) mengajar membaca Alquran dan tafsirnya, mengajarkan hukum Islam, dan juga mengajarkan aturan-aturan, cara-cara, dan tasawuf serta praktik-praktik tarekat. Di samping itu, syekh juga menjadikan surau sebagai tempat belajar ilmu bela diri, seperti silat; cara-cara membuat diri kebal senjata; dan cara-cara menghitung angka-angka untuk menetapkan hari-hari baik (Dobbin 2008:193). Surau juga merupakan pusat pengajaran bagi kaum pembaharu Minangkabau dalam usaha mengakomodasi lebih jauh Islam dalam masyarakat (Azra 2003:70).
Persebaran naskah yang berada di surau-surau itu biasanya dapat ditelusuri melalui silsilah guru-berguru dalam satu tarekat. Masing-masing surau tarekat juga memiliki beragam corak yang khas dan perbedaan kualitas naskah yang dimiliki. Semua bergantung pada kadar intelektual seorang syekh yang pernah memimpin suatu surau. Semakin tinggi intelektualitas seorang syekh, maka semakin banyak pula naskah yang ditinggalkan. Mudah saja ditafsirkan, jika seorang syekh terkenal akan keilmuan agamanya, maka akan banyak orang yang datang ke surau yang dipimpinnya untuk belajar. Semakin banyak orang yang belajar, maka semakin banyak pula kitab yang diperlukan dan banyak pula proses penulisan dan penyalinan naskah; baik yang dilakukan oleh para murid maupun syekh yang mengajar.
Sejauh yang dapat diketahui, sampai saat ini, studi mengenai jaringan naskah-naskah Minangkabau yang berisi teks keagamaan yang tersimpan di surau-surau tarekat di Sumatera Barat, masih minim dilakukan. Demikian pula halnya dengan studi tentang karakteristik naskah-naskah keagamaan tersebut; sama sekali belum ditemukan kajian terhadapnya. Pada sisi yang lain, tampaknya juga belum ada studi yang dilakukan terhadap kandungan naskah (teks-teks) keagamaan yang dapat dilepaskan dari “belenggu” kajian filologis. Hal itu berarti bahwa untuk mengetahui jaringan naskah ataupun teks-teks keagamaan dan karakteristiknya diperlukan kajian tersendiri dan mendalam.
Berdasarkan pada “pembacan umum” naskah-naskah keagamaan Minangkabau dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok. Pertama, naskah-naskah “impor”, yaitu naskah-naskah yang berasal dari luar wilayah Minangkabau. Bahkan, ia sangat mungkin berasal dari luar wilayah Nusantara. Dari segi fisiknya, naskah-naskah yang ditulis dengan aksara Arab dan berbahasa Arab ini terlihat lebih rapi. Baris demi baris kalimat yang ada pada setiap halaman terlihat tertata rapi dan jumlah baris per halaman sangat konsisten, atau setidaknya, kurang bervariasi. Tulisan yang terdapat di dalam naskah-naskah jenis ini pun tampak sangat rapi, indah, menggunakan tinta hitam yang “tipis”, menggunakan tinta merah sebagai rubrikasi, dan dijilid rapi dengan menggunakan kulit binatang sebagai sampul luar. Naskah-naskah yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini, biasanya, memuat teks Alquran, teks terjemahan Alquran dalam bahasa Arab, teks-teks yang berasal dari Kitab Fikih, Kitab Tauhid, Doa-doa, Zikir, teks-teks Tasawuf, dan teks-teks yang berkenaan dengan Nahu dan Sharaf. Biasanya, naskah-naskah kategori ini tidak memuat banyak teks pada setiap naskah. Marginalisasi yang ada di dalam naskah, pada umumnya, ditulis dengan rapi sebagai sarah.
Kedua, naskah-naskah “lokal”, yakni naskah-naskah yang sangat mungkin ditulis atau disalin oleh ulama yang berasal dari wilayah Minangkabau, atau sekurang-kurangnya dari wilayah Nusantara. Biasanya, naskah ini ditulis dengan kurang rapi. Tulisan dengan menggunakan tinta hitam terlihat lebih tebal dan tidak serapi atau seindah tulisan yang terdapat pada naskah-naskah “impor”. Jumlah baris yang terdapat pada setiap halaman, biasanya, sangat bervariasi. Pada umumnya, naskah-naskah jenis ini tidak mengandung rubrikasi. Naskah-naskah ini juga memuat banyak marginalisasi dari guru atau pembacanya. Di dalam setiap naskah, biasanya, terdapat banyak teks. Aksara yang digunakan di dalam naskah-naskah “lokal” ini adalah aksara Arab dan aksara Arab-Melayu. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab dan disertai bahasa Melayu sebagai terjemahan. Kadangkala, naskah-naskah ini menggunakan bahasa Melayu, bahasa Melayu-Minangkabau, dan disertai oleh bahasa Arab sebagai dasar rujukan.
Beberapa naskah juga memuat teks yang lebih tepat jika dibaca dengan menggunakan bahasa Minangkabau. Pada umumnya, naskah jenis ini berisi kumpulan risalah tauhid, kumpulan risalah fikih, nukilan kitab tauhid, kitab fikih, penjelasan yang berkenaan dengan persoalan tauhid, fikih dan tasawuf, kumpulan doa, penjelasan tentang tata bahasa Arab, hikayat, syair, kitab-kitab perobatan, azimat, catatan tentang ulama tertentu, dan cacatan ulama tertentu tentang dirinya dan tentang peristiwa-peristiwa tertentu.
Ketiga, naskah-naskah lokal merupakan karya yang disalin atau ditulis oleh syeikh di surau tempat ditemukannya naskah-naskah itu. Berangkali, ia juga merupakan karya yang disalin atau ditulis oleh syekh surau tersebut sewaktu belajar di surau lainnya. Atau, ia merupakan naskah yang ditulis atau disalin oleh syeikh yang berasal dari surau lain di Minangkabau. Atau, bahkan, ia berasal dari syeikh, guru tarekat, atau ulama lain dari luar wilayah Minangkabau.
Sejauh penelusuran yang dilakukan, diketahui bahwa naskah-naskah koleksi surau-surau tarekat tersebut tidak lagi difungsikan lagi. Ratuan naskah itu hanya menjadi “warisan” yang tersimpan di dalam surau yang kebanyakan kondisinya cukup memprihatinkan. Padahal, sebagai warisan budaya tertulis, naskah merupakan khazanah budaya yang penting, baik secara akademis maupun sosial budaya. Secara akademis melalui naskah-naskah itu dapat diungkap nilai-nilai yang relevan dengan kehidupan sekarang. Secara sosial budaya, naskah-naskah itu merupakan identitas, kebanggaan dan warisan yang berharga. Naskah merupakan hasil kegiatan intelektual dalam masyarakat tradisional (local genius). Naskah merupakan warisan budaya yang berisi beraneka ragam teks karya cipta masyarakat lama yang dapat digunakan untuk penelitian keagamaan, falsafah, kesejarahan, kesusastraan, kebahasaan, persoalan adat-istiadat, perundang-undangan, dan kajian-kajian dengan sudut pandang yang lain (Yusuf [Peny.] 2006:3).
(Irwan dan Pramono. 2017. “Pengembangan Ilmuniasi Naskah Kuno Pariangan Koleksi Surau Tarekat Syatariyah Pariangan”. Laporan Penelitian. Baperlitbang Provinsi Sumatera Barat.)
*Artikel ini merupakan sub bab pembahasan dengan judul “Gambaran Umum Khazanah Naskah Kuno Minangkabau” dari laporan penelitian Irwan dan Pramono pada tahun 2017, mengenai “Pengembangan Ilmuninasi Naskah Kuno Pariangan Koleksi Surau Tarekat Syatariyah Pariangan”.
0 Comments