Dijampuik Bako di Tapan

Published by admin on

Yuzi Febriani, Mahasiswa Prodi Sastra Minangkabau Universitas Andalas

Dalam budaya Minangkabau tepatnya di daerah Tapan pesisir selatan Sumatra barat, bako merujuk kepada keluarga dari pihak ayah, lebih tepatnya adalah garis kekerabatan yang diturunkan melalui ayah. Hal ini berbeda dengan garis keturunan utama dalam sistem matrilineal Minangkabau, yang diturunkan melalui pihak ibu. Sistem kekerabatan yang unik ini membuat bako menempati posisi yang sedikit berbeda dibanding keluarga ibu dalam struktur masyarakat, namun tetap memainkan peran penting dalam berbagai aspek sosial dan budaya masyarakat Minangkabau.

Meskipun Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang menganut sistem matrilineal, di mana garis keturunan dan warisan diturunkan melalui ibu, bako tetap memiliki kedudukan yang signifikan. Hal ini tercermin dalam berbagai upacara adat dan peran sosial yang melibatkan keluarga dari pihak ayah. Salah satu contohnya adalah dalam acara Di jampuik bako yang sering dilakukan pada saat upacara-upacara penting, seperti sunatan dan baralek (pernikahan).

Pada acara sunatan, peran bako sangat terlihat. Mereka bertanggung jawab untuk mengundang orang kampung dan mempersiapkan beberapa keperluan acara. Salah satu tradisi yang umum dilakukan adalah dengan menyewa odong-odong, kendaraan hias yang biasa digunakan dalam arak-arakan di Minangkabau. Pada kesempatan ini, bako akan manjapuik anak pisang, yakni anak dari saudara laki-laki mereka. Proses manjapuik ini melambangkan perhatian dan tanggung jawab bako terhadap keponakannya.

Setelah anak pisang tiba di rumah bako, ada prosesi di mana mereka akan didandani. Biasanya, bako akan menyewa baju adat yang disebut baju marapulai ketek, yaitu baju adat yang berwarna merah yang biasa digunakan dalam acara pernikahan. Bedanya, baju marapulai ketek ini ukurannya lebih kecil, karena diperuntukkan bagi anak-anak. Prosesi mendandani anak pisang ini memiliki makna simbolis sebagai bentuk kasih sayang dan perhatian dari pihak bako.

Setelah prosesi mendandani selesai, anak pisang akan diantar kembali ke rumahnya. Jika jaraknya cukup jauh, biasanya akan menggunakan odong-odong yang telah disewa sebelumnya, namun jika jaraknya dekat, mereka diantar dengan berjalan kaki. Dalam arak-arakan ini, biasanya ada seorang tokoh yang dituakan yang berjalan di depan membawa bendera yang dihias dengan uang. Ini menjadi simbol penghormatan kepada anak pisang dan keluarga.

Ketika anak pisang tiba di rumahnya, mereka akan disambut oleh keluarga dengan makanan prasmanan yang telah dipersiapkan. Ini adalah bagian dari prosesi penyambutan tamu, khususnya untuk bako dan keluarga dari pihak ayah. Setelah selesai makan, biasanya bako akan memberikan hadiah berupa cincin kepada anak pisang. Pemberian cincin ini juga memiliki makna simbolis sebagai tanda kasih sayang dan pengikat hubungan kekerabatan antara bako dan anak pisang.

Tidak hanya bako yang memberikan hadiah, tamu-tamu yang diundang oleh bako juga akan memberikan berbagai macam hadiah, seperti uang dan kain. Pemberian hadiah ini bukan hanya sekadar ungkapan selamat atau tanda suka cita, tetapi juga merupakan bagian dari tradisi timbal balik dalam budaya Minangkabau. Hadiah yang diberikan oleh para tamu biasanya adalah hasil dari pengalaman mereka sebelumnya, ketika bako turut hadir dalam acara serupa yang mereka adakan. Dengan kata lain, pemberian hadiah ini adalah bentuk dari budi balas atau pembayaran atas “utang” sosial yang telah terjadi sebelumnya.

Selain itu, sebelum tamu-tamu pulang, mereka akan menerima buah tangan dari keluarga anak pisang sebagai tanda terima kasih. Buah tangan ini biasanya berupa bahan-bahan kebutuhan sehari-hari, seperti minyak goreng, mie, atau roti. Dalam konteks budaya Minangkabau, pemberian buah tangan ini memiliki arti penting dalam menjaga hubungan baik dan siklus timbal balik antara keluarga bako dan tamu-tamunya.

Siklus pemberian dan penerimaan ini menciptakan suatu bentuk keseimbangan sosial yang khas dalam budaya Minangkabau. Sebagai contoh, jika bako belum pernah hadir dalam acara serupa yang diadakan oleh tamu tersebut, maka di masa depan, bako akan menghadiri acara mereka dan memberikan hadiah sebagai bentuk pelunasan “utang” sosial. Dengan cara ini, hubungan sosial antara bako dan tamu-tamu terjaga dalam ikatan timbal balik yang kuat dan berkesinambungan.

Untuk memeriahkan acara, biasanya keluarga anak pisang akan mengundang hiburan seperti organ tunggal atau karaoke. Hiburan ini menjadi bagian dari cara masyarakat Minangkabau menunjukkan rasa suka cita mereka dalam merayakan momen-momen penting, seperti sunatan atau pernikahan. Suasana ini menjadi lebih meriah dengan adanya musik dan nyanyian, di mana tamu-tamu dapat ikut bernyanyi atau menari.

Setelah seluruh rangkaian acara selesai, induak bako, yakni istri dari bako, akan menyerahkan uang dan barang-barang lainnya kepada anak pisang dan orang tuanya. Ini adalah salah satu bentuk tanggung jawab dan perhatian dari bako terhadap keponakannya, yang menunjukkan bahwa meskipun garis keturunan Minangkabau bersifat matrilineal, hubungan dengan keluarga pihak ayah tetap dijaga dengan baik.

Secara keseluruhan, tradisi manjapuik bako ini tidak hanya sebagai bentuk ritual adat semata, tetapi juga menjadi wujud dari bagaimana masyarakat Minangkabau menjaga keseimbangan hubungan kekerabatan antara pihak ayah dan pihak ibu, serta memperkuat ikatan sosial dalam lingkup keluarga besar dan masyarakat luas.

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *