Dapur Umum PDRI: Peran Perempuan dalam Perjuangan

Published by admin on

Halimah Tusakdiyah, Mahasiswa Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam UIN Imam Bonjol

“Patah tumbuh hilang berganti”, itulah pepatah yang dipilih Syafruddin Prawiranegara sebagai penyemangat untuk menyelamatkan Indonesia dari Agresi Militer Belanda II tahun 1948. Di kala itu, Indonesia yang masih sangat belia dari kemerdekaan nyaris kehilangan pemerintahannya. Serangan tiba-tiba dari Belanda berhasil menawan Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan para pembesar lainnya. Operasi Gagak di Yogyakarta pada 19 Desember 1948 itu nyaris membuat Indonesia patah, nyaris membuat Indonesia hilang.

Di waktu genting tersebut, para pemimpin di Yogyakarta mengadakan rapat di Istana Negara. Di sinilah dirumuskan oleh Sukarno bahwa seperti yang telah direncanakan, pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan ke Sumatera apabila menemui keadaan darurat. Sesaat setelah itu, mandat Sukarno kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat dikirim melalui sebuah telegram. Sayangnya, telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi karena tidak sempat disiarkan secara resmi.[1] Syafruddin tak mengetahui mandat yang ditujukan untuk dirinya. Untungnya, gagasan untuk menyelamatkan Republik dari Agresi Militer Belanda telah terpatri di benak para pemimpin negeri di kala itu.

Selain juga telah memiliki gagasan untuk membentuk pemerintah darurat, Syafruddin didesak oleh rekan lainnya seperti Kapten Islam Salim untuk segera melaksanakan gagasan tersebut.[2] Tepatnya pada 22 Desember 1948, para pemimpin negeri yang berada di Sumatera Barat berkumpul di Halaban. Di sinilah mereka menyiapkan konsep untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Tentu saja, para pemimpin Republik memiliki peran yang sangat besar dalam mempertahankan pemerintahan Indonesia ketika terjadinya serangan tiba-tiba dari Belanda. Namun, benarkah hanya para pembesar negeri ini yang memiliki kontribusi? Bagaimana dengan masyarakat sipil ketika itu? Sejumlah kalangan masyarakat memiliki peran masing-masing pada peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di Negeri ini, seperti halnya dalam peristiwa PDRI. Sejumlah masyarakat setempat terlibat dalam mempertahankan Republik Indonesia di kala itu.

Peristiwa PDRI di saat sekarang diperingati sebagai Hari Bela Negara yang jatuh pada tanggal 19 Desember. Di setiap tanggal tersebut sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin saja akan mengingat beberapa nama besar seperti Syafruddin Prawiranegeara, A.A. Maramis, Moh. Natsir, dan Soekiman Wirjodandjojo. Namun, pemerintahan darurat tersebut adalah sebuah pemerintahan yang berpindah-pindah tempat demi menghindari lacakan dari pihak Belanda. Inilah yang membuat PDRI hingga jauh memasuki wilayah-wilayah pedalaman di Sumatera Barat. Wilayah yang berkemungkinan pula jarang disebut dengan jelas sebagai salah satu tempat yang disinggahi oleh PDRI dalam melangsungkan pemerintahannya.

Misalnya, hanya nama Bukittinggi yang lebih lazim dikenal sebagai pusat pemerintahan PDRI. Padahal, terdapat sejumlah nagari di pelosok Sumatera Barat yang menjadi daerah bersejarah dalam mempertahankan Republik Indonesia di masa darurat kala itu. Nagari-nagari di pelosok tersebut di antaranya adalah Koto Tinggi dan Sumpur Kudus.

Sejumlah tokoh masyarakat di pedalaman nagari tersebut juga memiliki peran yang penting dalam peristiwa darurat ini. Dapat dikatakan, mereka adalah tangan kanan yang menjadi penggerak masyarakat setempat untuk ikut serta berkontribusi dan menunjukkan jiwa nasionalismenya. Keberadaan tokoh-tokoh masyarakat ini memberi kelancaran dan kemudahan bagi para petinggi di PDRI dalam menjalankan tugasnya.

Di Padang Japang misalnya, dikenal Syekh Abbas Abdullah. Ia adalah seorang imam jihad di Sumatera Tengah yang menjadi guru sekaligus pemilik dari Perguruan Darul-Funun El-Abbasiyah. Di Padang Japang dan Lima Puluh Kota, ia menggerakkan murid-muridnya untuk ikut serta melindungi para pemimpin PDRI yang tengah bergerilya dari agresi Belanda. Ia bersama murid-muridnya memberi bantuan moril dan materil demi kelangsungan jalannya PDRI di masa itu.[3]

Perguruan Darul-Funun El-Abbasiyah memiliki murid yang terbilang sangat banyak, yaitu diperkirakan 4.000-an murid. Sebagian dari murid-murid Syekh Abbas Abdullah tersebut ialah mantan tentara Giyugun, pasukan bantuan perang yang dibentuk oleh Jepang pada masa penjajahannya. Syekh Abbas Abdullah tidak hanya menggerakkan murid-muridnya untuk berjuang melawan militer Belanda, perguruan miliknya pun dijadikan sebagai kantor  Teuku Mohamad Hassan selaku Menteri Agama pada masa PDRI. Meskipun demikian, perguruan ini tetap beroperasi seperti biasa selayaknya sekolah untuk belajar murid-muridnya. Strategi ini pulalah yang berhasil mengelabui Belanda sehingga tidak dicurigai sebagai kantor sekaligus benteng pertahanan PDRI.

Sikap nasionalisme yang tinggi ketika berlangsungnya PDRI tidak hanya ditunjukkan oleh masyarakat Padang Japang. Masyarakat nagari Koto Tinggi, tempat PDRI melangsungkan pemerintahannya selama enam bulan, juga menunjukkan kontribusi yang sama. Meski ketika itu Koto Tinggi hanyalah sebuah daerah pelosok yang kecil, namun keberadaannya cukup strategis. Kebutuhan logistik dapat masuk dari segala penjuru atau daerah-daerah di sekitarnya.[4] Kondisi ini pulalah yang memudahkan jalannya PDRI dengan adanya kelancaran bantuan logistik dari masyarakat setempat.

Masyarakat di Nagari Koto Tinggi tidak hanya memberi bantuan keamanan untuk para pemimpin PDRI. Sebagian masyarakat, terutama para perempuan, tergabung dalam dapur umum yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan logistik.[5] Para perempuan ini tidak hanya bertugas memasak, tetapi mereka juga turut serta mengumpulkan bahan makanan seperti beras, lauk-pauk, dan bermacam sayuran yang diperlukan.

Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat di Sumpur Kudus. Di sana, masyarakat menyediakan rumah untuk menjamin keamanan para pemimpin PDRI. Setiap hari, para perempuan disibukkan dengan aktivitas di dapur umum untuk menyediakan makanan. Sementara itu, para pemuda yang tergabung dalam BPNK dan MPRK mengawal dan menjaga keamanan para pemimpin PDRI dan wilayah Sumpur Kudus dari sergapan Belanda.[6]

Peran perempuan selama peristiwa PDRI ini menjadi topik yang dapat dikatakan jarang dibicarakan. Catatan khusus yang menyorot hal ini juga sulit ditemukan. Padahal, peran mereka di dapur umum yang bertanggung jawab untuk kebutuhan logistik adalah peran yang juga sentral. Namun, terkadang peran domestik ini kadung dianggap kurang bernilai dan berkontribusi. Tentu saja, itu adalah anggapan yang keliru. PDRI berkemungkinan menemui kesulitan berarti dalam menjalankan pemerintahannya tanpa keikutsertaan para perempuan masa itu di dapur umum.

Sebetulnya tidak hanya pengenyampingan peran perempuan tersebut yang menjadi hal cukup disayangkan ketika berbicara mengenai PDRI. Beberapa buku dan tulisan pun membahas bahwa peristiwa PDRI beserta tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya menjadi sejarah yang ‘terlupakan’. Topik lain yang juga mengganjal ialah sebutan ‘pembelot’ yang sempat disematkan pada presiden PDRI, Syafruddin Prawiranegara, ketika ia ambil andil dalam PRRI. Padahal tindakan tersebut ialah bagian dari kekecewaan pihak-pihak di daerah terhadap pemerintahan pusat yang tidak merata dalam mengatasi kesejahteraan dan pembangunan.

Begitulah perjuangan mempertahankan Republik Indonesia dari garis pinggir, dari mereka yang jarang digubris. Ketika Indonesia pulih dari masa daruratnya, kontribusi dari pelosok-pelosok nagari itu dijanjikan beragam hal oleh para pemimpin negeri di masa itu. Koto Tinggi misalnya, dijanjikan perbaikan jalan, pemasangan instalasi listrik, dan pembangunan monumen nasional yang dilengkapi dengan museum. Namun, janji seperti perbaikan jalan dan listrik yang diucapkan oleh Mr. Sutan Moh Rasyid pada 17 Agustus 1949 itu baru terpenuhi sekitar tiga dekade kemudian. Hal yang sama rupanya juga berlaku terhadap monumen nasional dan museum yang digubris Azwar Anas ketika menjabat Gubernur Sumbar. Monumen dan museum yang dinanti-nantikan itu baru hampir rampung juga setelah tiga dekade kemudian.


[1] Melihat Fakta Sejarah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang Tersebar. 2022. Pusat Data dan Analisa Tempo.
[2] Petrik Matanasi dalam “Apa Jadinya Jika Tak Ada PDRI?”. 2017. Tirto.id. Diakses pada 03 Desember 2022.
[3] Andre Fernando, Etmi Hardi. “Syekh Abbas Abdullah Padang Japang: Tokoh Pejuang pada Masa PDRI 1948–1949”. 2019. Gelanggang Sejarah, Vol. 1, No. 1, hlm. 74–89.
[4] “Jejak PDRI dan Soekarno di Koto Tinggi”. www.liputan6.com. 22 Agustus 2006. Diakses pada 03 Desember 2022.
[5] Zusneli Zubir. “Nilai-Nilai Perjuangan Masyarakat Koto Tinggi dan Sumpur Kudus pada Masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia”. 2017. Jurnal Suluah, Vol. 20, No. 2, hlm. 1–11.
[6] Ibid.

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *